Skip to main content

Brief Answers to the Big Questions - Stephen Hawking

 

(curhat sambil semi review buku)

I used to think of Stephen Hawking as someone sarcastic and bitter as Richard Dawkins.

(Kalau ada yang pernah baca bukunya Dawkins, misalnya yang the God Delusion, pasti mengenali kekhasan cara pandangnya terhadap kreationisme dan hal gaib lainnya. Kaku bener beb kayak kanebo kering.😅)

Secara mendasar, sama seperti Dawkins, Hawking pun menolak kreationisme. Tapi, Hawking expressed his belief about creationism and other big questions humans have ever had in a kind and humorous way.

He did not diminish the magical feeling toward the awe-inspiring universe. But at the same time was also trying to rationally explain how this remarkable world works.

Jadi kayak bisa bikin pembaca over-optimistic dan bodoh seperti saya merasa it’s okay to questioning everything sambil tetap hopeful about life…

He certainly was a lovely and witty man.

Dalam bukunya, Brief Answers to the Big Questions, Hawking menjelaskan konsep-konsep theoretical physics mengenai the big bang, time travel, artificial intelligence, alien, dll lewat analogi sederhana, candaan ringan, dan penjelasan yang selalu diakhiri dengan nada yang menenteramkan.

Meski beberapa bagian ada yang aku gak paham (wkwk, udah baca diulang-ulang tetep ni otak nggak bisa diajak nyambung), I really enjoyed reading this book. Serasa lagi jatuh cinta gitu… wkwk lebay sih perbandingannya, jatuh cinta lebih nano nano daripada sekedar baca buku bagus. Tapi kira-kira begitulah ya. senyum-senyum sendiri, ketawa sendiri, kadang bengong diem doang lihat langit-langit kamar.

It was a pleasant meeting with Hawking’s mind through this book. Dalam keterbatasannya, Hawking tidak terbatas. Melalui karyanya, ia mendorong pembaca untuk stay curious sambil tetap humanis. Ia mengajak umat manusia to aim as high as our kind could, while still humbly appreciate the one and only life we have.

P.S. Buku ini tidak disarankan dibaca sebelum jam tidur karena mungkin dapat mengakibatkan existential crisis sampai jam 2 pagi. plus overthink kalau besok punya anak dia idupnya gimana yak. Survive gak ya… apa gak usah punya anak aja ya.. adoh pusying.. wkwk

Comments

Popular posts from this blog

Throwback

Setelah dua kali ops ke daerah Gunungkidul dan melewati kota Wonosari, aku teringat sesuatu. Awal kelas 12 dulu, aku pernah hidup selama satu minggu bersama orang-orang desa di Wonosari.  Kegiatan itu disebut live in. Aku sebenarnya sudah pernah menulis soal live in di blog ini, tapi tidak lengkap. Ada tulisan lengkapku tentang live in, yang kubuat karena diwajibkan sekolah (hehe), tapi hanya dipublish di blog kelasku. Nah, demi mempermudah dokumentasi, aku mau copy paste tulisan lengkap live in-ku ke sini. hehehe.  *** Memilih Bahagia oleh Eunike Adiprasasti / XIIA2/ 11 Hari pertama sampai di Wonosari saya merasa takut sekaligus excited. Siapa yang akan jadi keluarga saya? Bagaimana rumah saya nanti? Apa saja yang harus saya kerjakan? Dan, pertanyaan  yang paling sering muncul adalah apakah saya akan menikmati hidup di sana? Saya bukan orang yang melihat situasi hanya dari nikmat atau tidak nikmatnya saja. Saya punya rasa gengsi yang tinggi untuk m...