Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2016

Deles Sapu Angin (Part 1)

Minggu pagi, 17 April 2016 Pasar Bubrah – Puncak Gadjah Mungkur. “Yuk, kita segera kembali ke tempat camp. Keburu siang nanti kalau nggak segera turun.” Diana, sang PO menyerukan perintah. Meski agak enggan, namun aku patuh. Apa juga yang bisa kubuat selain patuh? Toh, nggak mungkin aku tinggal di situ selamanya. Bersama Desta, teman perempuan lain di pendakian ini (dan pendakian-pendakian sebelumnya), aku berjalan perlahan, kembali ke tempat camp. Kami berbincang tentang betapa sulit tapi worth it- nya perjalanan kali ini. Suatu perjalanan yang sangat berkesan untuk menjadi penutup perjalananku dalam rangkaian FUD ini. Aku dan Desta masih terus bercakap-cakap hingga tiba di tanjakan menuju Puncak Gajah Mungkur. Aku memperlambat langkah, membiarkan Desta berjalan lebih dulu. Aku ingin menikmati waktuku sendiri. Posisiku sekarang terpisah cukup jauh dari teman terdekat di depan dan belakangku. Puncak Merapi berdiri gagah di kananku. Jurang dalam di sebelah kiriku. Kaki gunung

Deles Sapu Angin (part 2)

Masih Sabtu, 16 April 2016 Camp Yoyok – tempat camp. Jika sesuai catatan perjalanan tahun lalu, Camp Yoyok terletak dekat dengan pos 3. Kami sempat berhenti sejenak, mengambil napas. Ada dua atau tiga pohon kecil di sini dan tanah yang cukup untuk menampung satu tenda kecil. Aku tidak bodoh-bodoh amat untuk tahu bahwa titik ini tidak mungkin menjadi tempat kami bermalam. Satu, matahari masih ada hingga beberapa jam ke depan. Dua, di kanan dan kiri kami ada jurang sangat dalam. Tiga, anggota kami ada sembilan. Tanah sesempit itu tidak mungkin cukup untuk mendirikan dua tenda. Walaupun sadar akan semua logika itu, sebagian hati kecilku berharap kita menyudahi perjalanan hari ini dan ngecamp di sini. “Blek,” aku bersuara pelan sambil memiringkan kepala, mendekatkan badan, dan mencolek lengan Bleki yang duduk di sebelahku. Agak malu dengan pertanyaan yang ingin kulontarkan. “Ada nggak kemungkinan kita harus ngecamp di sini?” Bleki mengerutkan kening. “Ya… Mungkin sih. Kalau ad

Salah dan Kalah (Lagi)

Aku mengaku salah untuk kesekian kali. Juga kalah kesekian kali. Agaknya masih kurang pemahamanku tentang makna dan peringatan. Akibatnya, begitu sampai di tepi jurang aku malah jatuh bebas. Mau tahu rasanya apa? It was peaceful and content. I feel like a bird. Smile broadened at my face. Meski begitu, secara bersamaan aku bisa menerawang kegundahan dan keterpurukan. Tapi demi semarak sementara yang tiada dua, kusingkirkan jauh-jauh terkaan buruk itu. Kuelu-elukan optimisme meraih kemenangan. Hingga sampailah aku pada tujuan, yang bukan hakku menentukan. Kukira akan kutemui padang rumput bahagia, tapi sejauh mata memandang hanya tampak dasar paling dalam dengan gelapnya yang terpekat. Aku merasa familiar, rasanya mirip dengan jurang yang dulu pernah tanpa sengaja kulalui. Tidak ada titik cahaya. Apalagi bunga berwarna.  Asa menguap. Kenapa kembali? Bebal! Sambil beringsut ke satu sudut, aku memaki diri dan menahan tangis. Tapi sejumput remah optimisme masih kugenggam. Aku mau

The Circle of Life

To every thing there is a season, and a time to every purpose under the heaven: A time to be born, and a time to die;  a time to plant, and a time to pluck up that which is planted; A time to kill, and a time to heal;  a time to break down, and a time to build up; A time to weep, and a time to laugh;  a time to mourn, and a time to dance; A time to cast away stones, and a time to gather stones together;  a time to embrace, and a time to refrain from embracing; A time to get, and a time to lose;  a time to keep, and a time to cast away; A time to rend, and a time to sew;  a time to keep silence, and a time to speak; A time to love, and a time to hate;  a time of war, and a time of peace. (Ecclesiastes 3:1-8, KJV)