Skip to main content

Di Persimpangan

Suatu kala di persimpangan jalan.

Kita berjumpa.

Aku menatap. Kamu menyapa.

Kita bercengkrama tentang tawa, asa, dan juga duka.

Lama-lama, sekeliling tidak lagi tampak. Seolah lupa ada di mana. Hanya aku, kamu, dan cerita di antara kita. Aku sungguh menikmatinya.

“Aku sungguh menikmati saat ini,” ujarmu persis seperti kata hatiku.

Aku hanya mengulum senyum. Berharap dalam diam harapan kita sama. Ini hanya persimpangan. Siapa bisa jamin kita satu tujuan?

Hingga tiba waktunya untuk melanjutkan petualangan.

Kamu menarik tanganku penuh semangat. Namun, demi melihat arah jalanmu, aku mematung. Menghentikan langkah dan berdiri kaku.

“Ada apa?” Tanyamu heran. “Ayok!”

Genggamanmu kau pererat, kamu menarikku lagi. Aku masih bergeming. “Kamu akan membawaku Utara.”

“Iya, memang,” keningmu berkerut, kau tidak menangkap maksudku. 

Aku menggeleng. “Aku harus ke Selatan.”

“Selatan?” Kerut keningmu perlahan memudar. Matamu melayangkan pandang ke balik pundakku, arah Selatan. “Jauh sekali, ya…”

Aku menelan ludah, tidak sanggup menjawab.

“Kamu… tidak ingin bersamaku ke Utara?” Tanyamu hati-hati.

“Aku ingin bersamamu. Tapi tidak mungkin ke Utara. Maaf, itu bukan jalanku.”

Kamu mendekat, menghadapkan tubuhmu padaku. Memandang dalam, mencari arti air mukaku. “Kamu yakin?”

Aku mengangguk mantap. “Itu bukan jalanku,” sekali lagi kutekankan.

“Baiklah…,” kau mengangguk-angguk, seakan mempertimbangkan sesuatu. “Tapi, bagaimana jika aku merindukanmu? Bolehkah kita bertemu kembali? Bolehkah aku kembali ke persimpangan ini? Akankah kamu ada di sini saat aku kembali?”

Tak kuat melihat matamu yang sarat harap, aku menunduk. “Jangan kembali, aku harus pergi ke jalan yang bersebrangan dari jalanmu." Sambil memandang jalinan genggaman kita, aku mencoba tegar. "Jalani saja, siapa tahu di sana ada persimpangan lagi. Siapa tahu kita bertemu lagi. Jalani saja, jangan kembali.”

Perlahan tapi pasti, genggamanmu terurai. Terukir senyum nanar di wajahmu. Tampaknya kamu sudah paham bahwa tujuan kita berbeda. Aku menengadah, memandang lekat-lekat lekuk mata,  hidung dan bibirmu, berusaha menyimpan kenangan yang mungkin berguna entah kapan saatnya. Aku tahu, inilah saatnya berpisah. 

Kita mengucap salam sampai jumpa bersamaan. Walau tidak ada yang tahu, kapan salam itu akan paripurna. Pada akhirnya, aku hanya bisa tertegun di persimpangan jalan. Memandangi pilihan, mengenang pertemuan penuh makna yang hanya sementara. 

Comments

Popular posts from this blog

21.09

Brief Answers to the Big Questions - Stephen Hawking

  (curhat sambil semi review buku) I used to think of Stephen Hawking as someone sarcastic and bitter as Richard Dawkins. (Kalau ada yang pernah baca bukunya Dawkins, misalnya yang the God Delusion, pasti mengenali kekhasan cara pandangnya terhadap kreationisme dan hal gaib lai nnya. Kaku bener beb kayak kanebo kering.😅) Secara mendasar, sama seperti Dawkins, Hawking pun menolak kreationisme. Tapi, Hawking expressed  his belief about creationism and other big questions humans have ever had in a kind and humorous way. He did not diminish the magical feeling toward the awe-inspiring universe. But at the same time was also trying to rationally explain how this remarkable world works. Jadi kayak bisa bikin pembaca over-optimistic dan bodoh seperti saya merasa it’s okay to questioning everything sambil tetap hopeful about life… He certainly was a lovely and witty man. Dalam bukunya, Brief Answers to the Big Questions, Hawking menjelaskan konsep-konsep theoretical ph...