Memasuki tahun kedua perkuliahan, dunia tidak setakterduga
dulu saat aku masih Maba. Pintu demi pintu sudah kubuka. Aku sudah mulai paham
permainan di balik pintu-pintu itu. Aku tidak se-terkejut dulu.
Memasuki tahun kedua ini, aku belajar bertahan. Tidak ada siapapun atau apapun di dunia ini yang menjanjikan jalan hidup mulus dan indah. Euforia perkuliahan memudar. Manis-manis berorganisasi mulai tergantikan dengan rasa kecut bahkan kadang agak pahit. Persahabatan pun kadang antara naik dan turun.
Yah, namanya juga perjalanan hidup ya. Awalnya mungkin lurus, kanan kiri pemandangan menyegarkan mata. Sebagai pelancong yang baru pertama memulai perjalanan rasanya pasti campur aduk. Deg-degan tapi kepo. Hati penuh warna. Tidak sabar tapi berusaha hati-hati meski kadang tetap clumsy.
Lalu beberapa waktu perjalanan mulai tampak kelokan, agak ekstrim tapi tetap tertangani. Lama-lama perjalanan menanjak. Menanjak terus membuat lelah seluruh tubuh dan pikiran. Belum habis tanjakan, jalanan bergelombang. Sulit rasanya bertahan untuk naik terus.
Namun pada akhirnya, sebagai buah dari kelelahan itu, tampak pemandangan indah dari atas bukit yang tadi sudah ditanjak dengan penuh perjuangan. Ingin rasanya berhenti di sana, tapi, kita tetap harus berjalan. Melintasi berbagai jenis jalanan lainnya. Mungkin ada yang mirip dengan jenis jalan sebelumnya, tapi perasaan yang dirasakan bisa berbeda.
Memasuki tahun kedua ini, aku belajar bertahan. Tidak ada siapapun atau apapun di dunia ini yang menjanjikan jalan hidup mulus dan indah. Euforia perkuliahan memudar. Manis-manis berorganisasi mulai tergantikan dengan rasa kecut bahkan kadang agak pahit. Persahabatan pun kadang antara naik dan turun.
Yah, namanya juga perjalanan hidup ya. Awalnya mungkin lurus, kanan kiri pemandangan menyegarkan mata. Sebagai pelancong yang baru pertama memulai perjalanan rasanya pasti campur aduk. Deg-degan tapi kepo. Hati penuh warna. Tidak sabar tapi berusaha hati-hati meski kadang tetap clumsy.
Lalu beberapa waktu perjalanan mulai tampak kelokan, agak ekstrim tapi tetap tertangani. Lama-lama perjalanan menanjak. Menanjak terus membuat lelah seluruh tubuh dan pikiran. Belum habis tanjakan, jalanan bergelombang. Sulit rasanya bertahan untuk naik terus.
Namun pada akhirnya, sebagai buah dari kelelahan itu, tampak pemandangan indah dari atas bukit yang tadi sudah ditanjak dengan penuh perjuangan. Ingin rasanya berhenti di sana, tapi, kita tetap harus berjalan. Melintasi berbagai jenis jalanan lainnya. Mungkin ada yang mirip dengan jenis jalan sebelumnya, tapi perasaan yang dirasakan bisa berbeda.
Intinya, aku lagi belajar untuk bertahan. hidup perkuliahan
sudah bukan manis-manisnya aja. Ada asemnya, ada pahitnya. Kalau ibarat jalan,
ada mulusnya, tapi banyak juga lubang dan kelokannya. Meski berat, tapi
bertahan. bertahan aja pokoknya. Siapa tahu pemandangan di akhir jalan indah.
Dan kalau memang sungguh-sungguh berjuang di jalan yang benar, pasti ada pemandangan indah di akhir sana deh. Itu yang aku percayai.
Suatu pagi pukul 07.16 WIB, aku baru bangun. Kelas pertama
hari itu adalah Teori dan Aplikasi Pengukuran Psikologi (TAPP) yang dimulai pukul 07.30 WIB. Mati lah udah.
The first thing that popped up in my head adalah, nggak mungkin
wis. Bahkan, meski dosenku selalu memberi toleransi keterlambatan sampai 07.45WIB (dan beliau sendiri memang baru masuk 07.45WIB), aku tetep telat.
Gimana caranya bisa mandi dan siap-siap dalam waktu sesingkat itu?! Kalau aku ada motor sih masih ada 20 menitan waktuku. Tapi karena aku harus jalan, aku harus spare waktu 15 menit. Ojek pun aku rasa nggak akan membantu. Susah nyarinya pagi-pagi gini. Dan beberapa waktu lalu sudah pernah kucoba juga.
Belum habis memikirkan perjalanan ke kampus, sesuatu menyentak ingatanku. Dosenku selalu memberi kuis di awal kelas. Dan aku belum belajar. Shoot. Lemes rasanya. Nyerah gue. Nangis aja deh. Berantakan sekali rasanya hidupku hanya karena telat bangun. Konyolnya!
Aku chat sahabat-sahabatku. Aku memutuskan untuk nggak masuk aja. Tapi aku nggak bilang seperti itu ke mereka. Aku cuma bilang aku baru bangun. Aku nggak berharap apa-apa dari mereka. Aku tidak berharap disemangati untuk masuk ke kelas pagi ini. Aku sudah terlanjur pesimis dan kalah. Aku cuma pengen kasih info, so they’ll know kenapa aku nggak masuk hari ini.
Gimana caranya bisa mandi dan siap-siap dalam waktu sesingkat itu?! Kalau aku ada motor sih masih ada 20 menitan waktuku. Tapi karena aku harus jalan, aku harus spare waktu 15 menit. Ojek pun aku rasa nggak akan membantu. Susah nyarinya pagi-pagi gini. Dan beberapa waktu lalu sudah pernah kucoba juga.
Belum habis memikirkan perjalanan ke kampus, sesuatu menyentak ingatanku. Dosenku selalu memberi kuis di awal kelas. Dan aku belum belajar. Shoot. Lemes rasanya. Nyerah gue. Nangis aja deh. Berantakan sekali rasanya hidupku hanya karena telat bangun. Konyolnya!
Aku chat sahabat-sahabatku. Aku memutuskan untuk nggak masuk aja. Tapi aku nggak bilang seperti itu ke mereka. Aku cuma bilang aku baru bangun. Aku nggak berharap apa-apa dari mereka. Aku tidak berharap disemangati untuk masuk ke kelas pagi ini. Aku sudah terlanjur pesimis dan kalah. Aku cuma pengen kasih info, so they’ll know kenapa aku nggak masuk hari ini.
Ternyata respon mereka tidak sesuai ekspektasiku.
Yang satu bilang, “ayok mandi sekaraaaang. Cepet, masih sempet.”
Yang satu bilang, “ayok mandi sekaraaaang. Cepet, masih sempet.”
Yang lain bilang, “semangaaaat nikee.”
Aku yang hampir ingin menyerah dan menangis, tertawa karena
tersentuh. Aku balas mereka, “mau nangis sih tadinya, tapi nggak jadi deh. Soalnya kalau nangis nanti aku selembek yupi.”
p.s.: I managed to take shower dalam sekejap, mencari teman
yang langganan telat dan nebeng dengannya, masuk kelas pada saat soal kuis
terakhir diucapkan asdos, dan mengerjakan semampuku. Dan aku mendapat nilai apa
saudara2? A. unbelievable. Nggak nyangka, sungguhan. Aku rasa nilai kuis itulah pemandangan indahku setelah memutuskan untuk berani menjalani hari, ketimbang sepagian menangisi diri :)
Comments
Post a Comment