Skip to main content

Bertahan

Memasuki tahun kedua perkuliahan, dunia tidak setakterduga dulu saat aku masih Maba. Pintu demi pintu sudah kubuka. Aku sudah mulai paham permainan di balik pintu-pintu itu. Aku tidak se-terkejut dulu.

Memasuki tahun kedua ini, aku belajar bertahan. Tidak ada siapapun atau apapun di dunia ini yang menjanjikan jalan hidup mulus dan indah. Euforia perkuliahan memudar. Manis-manis berorganisasi mulai tergantikan dengan rasa kecut bahkan kadang agak pahit. Persahabatan pun kadang antara naik dan turun.


Yah, namanya juga perjalanan hidup ya. Awalnya mungkin lurus, kanan kiri pemandangan menyegarkan mata. Sebagai pelancong yang baru pertama memulai perjalanan rasanya pasti campur aduk. Deg-degan tapi kepo. Hati penuh warna. Tidak sabar tapi berusaha hati-hati meski kadang tetap clumsy.

Lalu beberapa waktu perjalanan mulai tampak kelokan, agak ekstrim tapi tetap tertangani. Lama-lama perjalanan menanjak. Menanjak terus membuat lelah seluruh tubuh dan pikiran. Belum habis tanjakan, jalanan bergelombang. Sulit rasanya bertahan untuk naik terus.

Namun pada akhirnya, sebagai buah dari kelelahan itu, tampak pemandangan indah dari atas bukit yang tadi sudah ditanjak dengan penuh perjuangan. Ingin rasanya berhenti di sana, tapi, kita tetap harus berjalan. Melintasi berbagai jenis jalanan lainnya. Mungkin ada yang mirip dengan jenis jalan sebelumnya, tapi perasaan yang dirasakan bisa berbeda.

Intinya, aku lagi belajar untuk bertahan. hidup perkuliahan sudah bukan manis-manisnya aja. Ada asemnya, ada pahitnya. Kalau ibarat jalan, ada mulusnya, tapi banyak juga lubang dan kelokannya. Meski berat, tapi bertahan. bertahan aja pokoknya. Siapa tahu pemandangan di akhir jalan indah. Dan kalau memang sungguh-sungguh berjuang di jalan yang benar, pasti ada pemandangan indah di akhir sana deh. Itu yang aku percayai.

Suatu pagi pukul 07.16 WIB, aku baru bangun. Kelas pertama hari itu adalah Teori dan Aplikasi Pengukuran Psikologi (TAPP) yang dimulai pukul 07.30 WIB. Mati lah udah.

The first thing that popped up in my head adalah, nggak mungkin wis. Bahkan, meski dosenku selalu memberi toleransi keterlambatan sampai 07.45WIB (dan beliau sendiri memang baru masuk 07.45WIB), aku tetep telat.

Gimana caranya bisa mandi dan siap-siap dalam waktu sesingkat itu?! Kalau aku ada motor sih masih ada 20 menitan waktuku. Tapi karena aku harus jalan, aku harus spare waktu 15 menit. Ojek pun aku rasa nggak akan membantu. Susah nyarinya pagi-pagi gini. Dan beberapa waktu lalu sudah pernah kucoba juga.

Belum habis memikirkan perjalanan ke kampus, sesuatu menyentak ingatanku. Dosenku selalu memberi kuis di awal kelas. Dan aku belum belajar. Shoot. Lemes rasanya. Nyerah gue. Nangis aja deh. Berantakan sekali rasanya hidupku hanya karena telat bangun. Konyolnya!

Aku chat sahabat-sahabatku. Aku memutuskan untuk nggak masuk aja. Tapi aku nggak bilang seperti itu ke mereka. Aku cuma bilang aku baru bangun. Aku nggak berharap apa-apa dari mereka. Aku tidak berharap disemangati untuk masuk ke kelas pagi ini. Aku sudah terlanjur pesimis dan kalah. Aku cuma pengen kasih info, so they’ll know kenapa aku nggak masuk hari ini.

Ternyata respon mereka tidak sesuai ekspektasiku.
Yang satu bilang, “ayok mandi sekaraaaang. Cepet, masih sempet.”
Yang lain bilang, “semangaaaat nikee.”

Dan di grup chat kami bertiga muncul gambar ini.


Aku yang hampir ingin menyerah dan menangis, tertawa karena tersentuh.  Aku balas mereka, “mau nangis sih tadinya, tapi nggak jadi deh. Soalnya kalau nangis nanti aku selembek yupi.”


p.s.: I managed to take shower dalam sekejap, mencari teman yang langganan telat dan nebeng dengannya, masuk kelas pada saat soal kuis terakhir diucapkan asdos, dan mengerjakan semampuku. Dan aku mendapat nilai apa saudara2? A. unbelievable. Nggak nyangka, sungguhan. Aku rasa nilai kuis itulah pemandangan indahku setelah memutuskan untuk berani menjalani hari, ketimbang sepagian menangisi diri :)

Comments

Popular posts from this blog

Throwback

Setelah dua kali ops ke daerah Gunungkidul dan melewati kota Wonosari, aku teringat sesuatu. Awal kelas 12 dulu, aku pernah hidup selama satu minggu bersama orang-orang desa di Wonosari.  Kegiatan itu disebut live in. Aku sebenarnya sudah pernah menulis soal live in di blog ini, tapi tidak lengkap. Ada tulisan lengkapku tentang live in, yang kubuat karena diwajibkan sekolah (hehe), tapi hanya dipublish di blog kelasku. Nah, demi mempermudah dokumentasi, aku mau copy paste tulisan lengkap live in-ku ke sini. hehehe.  *** Memilih Bahagia oleh Eunike Adiprasasti / XIIA2/ 11 Hari pertama sampai di Wonosari saya merasa takut sekaligus excited. Siapa yang akan jadi keluarga saya? Bagaimana rumah saya nanti? Apa saja yang harus saya kerjakan? Dan, pertanyaan  yang paling sering muncul adalah apakah saya akan menikmati hidup di sana? Saya bukan orang yang melihat situasi hanya dari nikmat atau tidak nikmatnya saja. Saya punya rasa gengsi yang tinggi untuk m...

Brief Answers to the Big Questions - Stephen Hawking

  (curhat sambil semi review buku) I used to think of Stephen Hawking as someone sarcastic and bitter as Richard Dawkins. (Kalau ada yang pernah baca bukunya Dawkins, misalnya yang the God Delusion, pasti mengenali kekhasan cara pandangnya terhadap kreationisme dan hal gaib lai nnya. Kaku bener beb kayak kanebo kering.😅) Secara mendasar, sama seperti Dawkins, Hawking pun menolak kreationisme. Tapi, Hawking expressed  his belief about creationism and other big questions humans have ever had in a kind and humorous way. He did not diminish the magical feeling toward the awe-inspiring universe. But at the same time was also trying to rationally explain how this remarkable world works. Jadi kayak bisa bikin pembaca over-optimistic dan bodoh seperti saya merasa it’s okay to questioning everything sambil tetap hopeful about life… He certainly was a lovely and witty man. Dalam bukunya, Brief Answers to the Big Questions, Hawking menjelaskan konsep-konsep theoretical ph...