Hapeku wafat. Tamat.
Sudah dibawa ke tempat servis
pun, ia tidak tertolong. Ya sudah. Aku kabarkan pada orangtua. Saat ditawarkan
yang baru, aku bilang nggak perlu buru-buru. Aku menikmati banget nggak punya
hape yang canggih. Sekarang aku hanya memakai hape cadangan yang sejak zaman
Maba aku simpan. Blackberry Bold. Super jadul, gengs. To make it worse (or better – in my case), ini BB nggak bisa dipake
bbm-an. Entah kenapa. Ada yang salah dengan identitas e-mail untuk registrasi
bbm. Soalnya dulu BB ini memang bukan punyaku. Entahlah, nggak paham juga dan
nggak begitu peduli juga hehe.
Aku merasa sangat amat damai. Aku
jauh lebih sehat mental. Informasi yang sampai kepadaku ter-filter dengan baik. Tidak perlu lagi
kuhadapi notifikasi kurang penting yang mengganggu proses real life ku. Kalau orang nyari aku dan itu urgent, then they’ll find me
through sms atau telpon. Semua sosmed kutinggalkan. Instagram, Facebook,
Twitter, Line… Apa lagi, coba? Sebutkan. Semuanya nggak ada di genggaman
tanganku.
I still check them occasionally
through web browser from my laptop, though. But still, waktuku jadi lebih
digunakan dengan efektif since saat
ada waktu break aku nggak bisa easily buka medsos dan semua informasi
(yang kadang gak penting) di dalamnya itu. Ketiadaan hape canggih ini somehow juga memberikan aku kesempatan
lebih banyak untuk menulis tangan di jurnal atau buku catatanku. Which in some research shown, that is one of
the ways to relieve stress.
Try it
sometimes. Try to detach yourself from your sophisticated phone.
Stress reliever, indeed.
1 September 2016
Comments
Post a Comment