Skip to main content

Deles Sapu Angin (part 2)


Masih Sabtu, 16 April 2016
Camp Yoyok – tempat camp.

Jika sesuai catatan perjalanan tahun lalu, Camp Yoyok terletak dekat dengan pos 3. Kami sempat berhenti sejenak, mengambil napas. Ada dua atau tiga pohon kecil di sini dan tanah yang cukup untuk menampung satu tenda kecil. Aku tidak bodoh-bodoh amat untuk tahu bahwa titik ini tidak mungkin menjadi tempat kami bermalam. Satu, matahari masih ada hingga beberapa jam ke depan. Dua, di kanan dan kiri kami ada jurang sangat dalam. Tiga, anggota kami ada sembilan. Tanah sesempit itu tidak mungkin cukup untuk mendirikan dua tenda. Walaupun sadar akan semua logika itu, sebagian hati kecilku berharap kita menyudahi perjalanan hari ini dan ngecamp di sini.
“Blek,” aku bersuara pelan sambil memiringkan kepala, mendekatkan badan, dan mencolek lengan Bleki yang duduk di sebelahku. Agak malu dengan pertanyaan yang ingin kulontarkan. “Ada nggak kemungkinan kita harus ngecamp di sini?”
Bleki mengerutkan kening. “Ya… Mungkin sih. Kalau ada badai, kan, mungkin aja.”
Aku mengangguk-angguk. Membayangkan badai datang ke tempat seperti ini cukup bikin merinding juga. Aku lanjut bertanya, “Terus kita pasang tenda berarti ya kalau ada badai gitu?”
Bleki tertawa sekenanya. “Kalau di sini ya nggak lah. Mana muat!”
“Terus?”
“Ya tidur di luar, pakai sleeping bag.”
Harapanku untuk ngecamp di sini tidak jadi kuteruskan. Mana mungkin aku kuat tidur di alam terbuka dengan angin yang menusuk-nusuk seperti ini hanya berlapis sleeping bag. No way. Aku berdiri, mengikuti PO yang juga sudah bersiap melanjutkan perjalanan. Leader masih Mas Diska dan Mas Yandi.

Sekitar 15 menit berjalan, kami menemukan dataran landai yang cukup luas. Tidak ada pohon satu pun di sini. Maka tempat ini tidak bisa dijadikan sebagai tempat camp. Tidak berani lagi kutanyakan pada Bleki atau siapapun mengenai kemungkinan bermalam di sini. PO memutuskan untuk beristirahat sejenak dan mempersilakan teman-teman yang menjalankan, untuk ibadah salat Ashar.
Angin kencang menjadi-jadi. Badan semakin letih dan kedinginan. Aku  tidak berani berdiam diri lama-lama. Aku berdiri dan menghentak-hentakkan kaki, berlari-lari kecil di tempat, dan meloncat-loncat. Di sini kami mengecek GPS.
“Lho!” Diana yang sedang melihat GPS berseru kebingungan. “Mas Blek, Mas Blek, ini gimana sih? Kok kalau di GPS kita udah lewat dari pos 3?”
Yang dipanggil hanya Mas Blek, yang mendekat satu rombongan. Aku juga ikut penasaran akan posisi kami. Kami berdiskusi dan sedikit berdebat tentang letak pos 3.
“Camp Yoyok itu kali pos 3 nya.” Usul Bolu yang belum pernah melewati jalur ini.
“Bukan ya. Camp Yoyok ki sebelumnya pos 3.” Sahut Bleki sang Kadiv.
“Terus pos 3 nya yang mana dong tadi?” Tanya yang lain.
“Kayaknya tahun lalu emang cuma pos 3 yang nggak kita kasih tanda deh.” jelas Desta yang pernah ke sini tahun lalu.
“Wis, wis, yang penting udah lewat to pos 3 nya?” seseorang menengahi. “Lanjutkan aja yok, keburu maghrib. Piye Bu PO?”
PO setuju. Sambil mengepak berapa barang kecil yang sempat dikeluarkan dari carrier selama istirahat barusan, aku memandang ke arah puncak Merapi. Pada waktu yang sangat singkat, kabut sempat tersingkap dan tampaklah punggungan gagah dengan tebing-tebing batunya yang telanjang. Beberapa tumbuhan merambat di pinggiran tebing batu itu. So Magical. Aku serasa dibawa ke dunia-dunia dongeng. Alice in Wonderland, Sleeping Beauty, Aladdin…
“Surga dunia.” Bisik seorang teman di belakangku. Ternyata, selain aku, ada juga yang memperhatikan suguhan pemandangan itu. Aku tidak berkomentar. Aku hanya mengiyakan dalam hati sambil terus memandangi tebing abu-abu yang sekarang mulai tertutup kembali oleh awan-awan rendah.
Tim mulai kembali berjalan. Kali ini leadernya Diana dan Desta sampai ke tempat camp. “Berapa jam lagi kira-kira untuk sampai ke tempat camp?” Tanyaku pada salah seorang senior. “Sekitar satu jam, mungkin,” Jawabnya.
Semangat kembali membuncah begitu sadar tinggal sedikit lagi jarak menuju tempat camp. Sedikit di sini maksudnya jika dibandingkan dengan perjalanan tim selama hampir setengah hari ini. Meski ‘sedikit’, namun tanjakan dan turunan yang harus dilalui masih saja ada. Sekitar jam 5, sampailah kami di tempat camp, sepetak tanah yang cukup untuk dua tenda dengan payung alami sebuah tebing batu lebar.
Dome didirikan di bawah guyuran hujan yang teramat deras. Dari arah jalan setapak menuju tempat camp, datang aliran air seperti air terjun. Tanah di bawah dome tergenang air yang sangat banyak. Saking derasnya, aku serasa mengapung di atas air saat duduk di atas lantai dome sambil merapikan ponco dan matras untuk tidur. Begitu semua telah rapi terpasang, tanpa aba-aba, kami langsung ambil posisi masuk ke dalam tenda. Aku memilih tidur di dome Lafuma. Sudah pasti isinya berlima dan sudah pasti berdempetan. Tapi tak mengapa, karena justru itu yang aku harapkan. Aku paling tidak kuat dingin. Maka baik kalau semakin banyak orang, karena, semakin sempit justru semakin hangat.
Rutinitas malam di tempat camp pun dilaksanakan. Menyeduh kopi dan susu hangat, menanak nasi, memasak lauk pauk lezat. Kami bercengkrama dan bersenda gurau, menikmati suasana.

Minggu lebih pagi, 17 April 2016
Tempat camp – Pasar Bubrah.

Usai sarapan ringan dengan mie instan, kami mempersiapkan diri menuju target operasional kali ini, Pasar Bubrah. Matahari bersinar sangat cerah. Langit pukul tujuh pagi berwarna biru jernih tanpa awan. Sekitar 15-20 menit kami berjalan menuju batas vegetasi. Di antara pohon perdu, tampak dari jauh Gunung Merbabu menjadi pemandangan yang menemani perjalanan.
Hingga sampailah kami ke Puncak Gajah Mungkur. Ada jurang di utara dan punggungan curam di sisi selatan. Sambil tetap mengutamakan keamanan, kami mengabadikan momen dengan kamera. Selanjutnya, kami menuruni Puncak Gajah Mungkur untuk menuju ke Pasar Bubrah. Ramai sekali orang yang datang dan bermalam di sini. Kami menuju ke area yang cukup kosong dan duduk-duduk di beberapa batu besar. Foto-foto kembali diambil dari berbagai sudut dengan berbagai pose.
Samar-samar di bagian barat, tampak Pegunungan Dieng, Sumbing, Sindoro dan Slamet berbaris rapi. Tidak rela rasanya untuk kembali dan meninggalkan pemandangan seindah ini. Melihat ke Gunung Slamet yang paling barat dan paling samar terlihat dari Pasar Bubrah, membuatku teringat betapa luar biasa berkat Tuhan padaku. Baru seminggu lalu, aku dan tim mendaki hingga puncak Gunung Slamet. Dan sekarang, aku masih diberi kesempatan mendaki gunung lain dan memandang pada puncak yang kujajaki minggu lalu itu. Kesempatan menikmati pemandangan indah alam dan menjalin kisah bersama teman-teman tercinta ini membuatku berulang kali mengucap syukur dalam hati.
Usai melaksanakan upacara khas Palapsi dengan minuman puncak (mincak) dan hymne syahdunya itu, kami kembali ke tempat camp.
---

Masih Minggu, 17 April 2016.
Puncak Gadjah Mungkur – tempat camp.

Dalam perjalanan ke tempat camp, awan mulai banyak terlihat. Matahari juga semakin meninggi. Aku buru-buru menuju daerah yang tertutup pohon, menghindari sengatan matahari. Turun gunung itu sangat menyenangkan! Loncat kanan dan kiri. Terbang sedikit dan mendarat tepat. Hahaha.
“Nikk!” Aku baru saja mendarat dari lompatan yang jauh dan berpegangan pada satu dahan pohon saat menoleh ke arah suara perempuan yang menyebut namaku. Aku tidak bisa melihat sumber suara karena tertutup pepohonan. Tapi siapa lagi perempuan di belakangku kalau bukan Diana?
“Yaaa?”
“Jangan terlalu cepet doooong. Bahaya kalau sendirian!”
Begitulah. Sejak pendakian sebelumnya pun aku sudah dimarahi oleh Diana dan beberapa teman lainnya karena selalu terburu-buru turun. Dan seringnya sendirian. Kadang aku memang sengaja mempercepat langkah, supaya bisa ngobrol dengan pikiranku sendiri hehe. Sadar itu hal yang salah, aku menunggu Mas Dhika yang siulannya mulai terdengar di belakangku.
Kami jalan terlebih dahulu sampai menemukan batuan yang berada di celah tebing, membentuk semacam jendela di antara tembok-tembok tebing. Tadi di perjalanan muncak, aku sudah gemas dengan bebatuan ini dan ingin tahu rasanya duduk-duduk di situ sambil memandangi Gunung Merbabu. Tapi karena tadi tidak sempat, maka baru sekarang aku memanjat bebatuan itu.  Kulambaikan tangan kepada Mas Dhika, mengajaknya untuk ikut duduk sebentar.
“Kayak lagi di rumah batu Flinstone ya kita.” komentar Mas Dhika.
Mas Yandi dan Diana yang datang beberapa menit kemudian ikut menyusul kami di “rumah Flinstone” itu. Beberapa menit berlalu sebelum kami memutuskan pulang ke camp. Di area camp, beberapa teman sedang sibuk memasak sarapan jilid dua. Tadi sebelum muncak sudah sarapan, sekarang sarapan lagi. Beberapa teman lainnya membereskan dome dan perlengkapan pribadi.

---

Masih Minggu, 17 April 2016.
Tempat camp – Basecamp.

Usai sarapan, packing, pemanasan, dan berdoa, kami turun. Packing menghabiskan waktu yang sangat lama sehingga kami baru mulai jalan sekitar pukul 11.00. Seperti sudah kuceritakan, aku menikmati perjalanan turun. Jauh lebih menikmati daripada perjalanan naik. Mas Dhika dan Diana memimpin tim sampai ke pos 2. Aku mengekor tepat di belakang mereka. Teman-teman lain agak jauh di belakang dan tidak terlihat. Beberapa kali aku terpeleset walau sudah berpegangan pada ilalang. Mas Dhika selalu menoleh, memeriksa keadaanku tiap kali terdengar bunyi jatuh. Satu kali dia menawarkan, “Kok malah kamu yang jadi sweeper? Tukeran po?”
Aku menolak dan memilih untuk tetap di paling belakang. Aku menikmati semua. Dibuai angin dan dibelai rerumputan. Galau rasanya. Di satu sisi pengen cepat sampai basecamp supaya bisa istirahat, di sisi lain berharap ada cara menghentikan waktu supaya nikmat alam yang kurasakan ini nggak habis-habis. Namun, seperti jalannya waktu yang tidak pernah mungkin ditahan, begitu pula langkah kami. Dalam waktu cukup singkat kami sampai di Pos 2.
Dari pos 2 sampai basecamp, PO menunjukku dan Bleki untuk menjadi leader. Perjalanan terus menurun. Aku melesat cepat diikuti Blek dan ketujuh teman lainnya. Sekitar pukul tiga lebih beberapa menit kami sampai di pos 1. Kami mengambil waktu istirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan menuju basecamp. Waktu menunjukkan sekitar hampir jam setengah lima saat aku dan Bleki sampai di basecamp. Kira-kira 20 menit setelahnya, teman-teman lain menyusul.

---
Minggu, 17 April 2016 – Senin, 18 April 2016.
Basecamp – Sekret.

Kami membersihkan diri sekenanya, lalu berbincang dengan pemuda-pemuda desa yang datang ke basecamp. Berbagai kisah petualangan berlatar tempat Sapu Angin ini dituturkan. Ditemani teh manis hangat, kami mendengar cerita tentang proses mencari mata air, membuka jalur baru, bahkan evakuasi korban dengan jalur yang luar biasa sulit. Meski tidak semua terdengar menyenangkan, namun jelas mengesankan. Tak terasa kami sudah berbincang hingga waktu matahari tenggelam lewat satu jam. Kami segera pamit dan kembali ke sekret. Petualangan ini diakhiri dengan cuci alat di sekret dan evaluasi hingga hampir jam setengah empat pagi.


Another journey, another memory…

Comments

Popular posts from this blog

Is There a Way to Make Everyone Loves You?

I guess there is no way we can please everyone, let alone ask everyone to love us. You can still try to make people like you, though. You can be: a good listener a helpful friend a supportive family member a loving partner, but there is no guarantee that you will be loved by the deeds you have done. People are unconsciously conditioned to like or dislike certain things or other people. They have their own perception of what's good or bad, which could be quite different from your perception of good and bad. So... In the end, just be unapologetically you . Stay true to who you are. Know that whenever someone judges you, they actually judge their perception of you. Which most possibly is not the real you. Know that any concept that molds our worldly status is just, well... worldly. Ephemeral. Impermanent. Keep spreading love and kindness. And never let anyone or anything stops you from doing good. Because you can't be perfect for everyone, but you can always try to do your best ev

Current Favorite Things

Here are some things I've been obsessed to this past month: 1. Van & Camp Life on Pinterest source: Pinterest Source: Pinterest 2. Videos of Tiny Apartments on Youtube    I'm officially obsessed with beautiful minimalist home design!  3. Classical Music My favorite is Satie's Gymnopedie no.1 . I listen to it almost every night before sleep. The song brings a feeling of yearning, like being pulled back and forth through time. Like longing for something happening in the past to be happened once more. Put me in between the feeling of wistfulness and gratitude.  This youtube video is one of the best plays of Gymnopedie no.1. It's actually just a usual Gymnopedie no.1 with some rain sound in the background. But what make it good is the nostalgic stories people wrote on the comment section . Reading those stories while listening to the music is super calming. 4. Weekly English Chit Chat Club It's been almost a month since the beginning of this club. At first, Mbak Zia

Throwback

Setelah dua kali ops ke daerah Gunungkidul dan melewati kota Wonosari, aku teringat sesuatu. Awal kelas 12 dulu, aku pernah hidup selama satu minggu bersama orang-orang desa di Wonosari.  Kegiatan itu disebut live in. Aku sebenarnya sudah pernah menulis soal live in di blog ini, tapi tidak lengkap. Ada tulisan lengkapku tentang live in, yang kubuat karena diwajibkan sekolah (hehe), tapi hanya dipublish di blog kelasku. Nah, demi mempermudah dokumentasi, aku mau copy paste tulisan lengkap live in-ku ke sini. hehehe.  *** Memilih Bahagia oleh Eunike Adiprasasti / XIIA2/ 11 Hari pertama sampai di Wonosari saya merasa takut sekaligus excited. Siapa yang akan jadi keluarga saya? Bagaimana rumah saya nanti? Apa saja yang harus saya kerjakan? Dan, pertanyaan  yang paling sering muncul adalah apakah saya akan menikmati hidup di sana? Saya bukan orang yang melihat situasi hanya dari nikmat atau tidak nikmatnya saja. Saya punya rasa gengsi yang tinggi untuk mengakui bahwa saya