Minggu pagi, 17 April 2016
Pasar Bubrah – Puncak Gadjah Mungkur.
“Yuk,
kita segera kembali ke tempat camp. Keburu siang nanti kalau nggak segera
turun.” Diana, sang PO menyerukan perintah. Meski agak enggan, namun aku patuh.
Apa juga yang bisa kubuat selain patuh? Toh, nggak mungkin aku tinggal di
situ selamanya. Bersama Desta, teman perempuan lain di pendakian ini (dan
pendakian-pendakian sebelumnya), aku berjalan perlahan, kembali ke tempat camp.
Kami berbincang tentang betapa sulit tapi worth
it-nya perjalanan kali ini. Suatu perjalanan yang sangat berkesan untuk
menjadi penutup perjalananku dalam rangkaian FUD ini.
Aku
dan Desta masih terus bercakap-cakap hingga tiba di tanjakan menuju Puncak
Gajah Mungkur. Aku memperlambat langkah, membiarkan Desta berjalan lebih dulu. Aku ingin menikmati waktuku sendiri. Posisiku sekarang
terpisah cukup jauh dari teman terdekat di depan dan belakangku.
Puncak
Merapi berdiri gagah di kananku. Jurang dalam di sebelah kiriku. Kaki gunung
Merapi tampak jelas di bawah sana dengan kelokan kali Gendol yang menganga
luas. Awan mulai tampak tipis-tipis berarak di langit biru. Aku berhenti
sejenak. Operasional terakhir di FUD ini… fakta itu kembali datang di benakku.
Setelah sekian minggu naik turun bukit dan gunung, berdinamika bersama
kawan-kawan, menjelajah hutan, akhirnya aku harus pamit.
Aku sedih dan bahagia di saat yang bersamaan. Selayang kemudian, kusadari pandanganku agak buram karena terhalang air di pelupuk mata. Aku mengerjap-ngerjap berusaha menahan perasaan. Saat itu, aku tidak ingin ada teman yang tahu. Kalau sampai mereka melihat hidungku memerah atau mataku berair, pasti timbul bermacam pertanyaan yang kalau kujawab malah membuatku tambah ingin menangis.
Dari belakang, Diana tampak mendekat disusul oleh beberapa teman pria. Mereka tampak sedang membicarakan sesuatu dengan wajah ceria. Diana bahkan sekarang mengibaskan rambutnya lalu tertawa terbahak-bahak. Entah apa pembicaraannya. Yang pasti, tampak jelas bahwa tidak mungkin mereka berbagi rasa yang sama denganku. Aku menarik napas dalam-dalam, mengambil pandang sekali lagi pada puncak Merapi, lalu mulai berbelok turun memunggungi puncak, menyusul Desta yang sudah jauh di bawah.
Aku sedih dan bahagia di saat yang bersamaan. Selayang kemudian, kusadari pandanganku agak buram karena terhalang air di pelupuk mata. Aku mengerjap-ngerjap berusaha menahan perasaan. Saat itu, aku tidak ingin ada teman yang tahu. Kalau sampai mereka melihat hidungku memerah atau mataku berair, pasti timbul bermacam pertanyaan yang kalau kujawab malah membuatku tambah ingin menangis.
Dari belakang, Diana tampak mendekat disusul oleh beberapa teman pria. Mereka tampak sedang membicarakan sesuatu dengan wajah ceria. Diana bahkan sekarang mengibaskan rambutnya lalu tertawa terbahak-bahak. Entah apa pembicaraannya. Yang pasti, tampak jelas bahwa tidak mungkin mereka berbagi rasa yang sama denganku. Aku menarik napas dalam-dalam, mengambil pandang sekali lagi pada puncak Merapi, lalu mulai berbelok turun memunggungi puncak, menyusul Desta yang sudah jauh di bawah.
Jumat petang, 15 April
2016
Masjid kecil, di suatu
daerah di Klaten.
Aku,
Diana, dan Desta duduk-duduk di depan masjid. Teman-teman pria sedang
menjalankan ibadah salat Maghrib. Kami bertiga duduk agak berjauhan, sibuk
dengan diri masing-masing. Desta berkutat dengan ponselnya, Diana membereskan
bawaan, sementara aku hanya memandangi halaman masjid, jalan raya, sawah di
seberang jalan, dan langit petang yang menghitam. Pikiranku melayang menuju operasional
minggu sebelumnya. Waktu di mana aku sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan
kegiatan operasional gunung di FUD ini. Operasional gunung cukup menghambatku
menyelesaikan tanggung jawab sebagai Kadiv PPM. Sesungguhnya aku tidak ingin
mengakui pernyataan tersebut dan selalu menyalahkan kemampuan manajemen waktu
sebagai faktor kesulitanku dalam PPM. Bagaimanapun juga, fakta tersebut tidak
bisa kupungkiri pada akhirnya. Aku harus mengorbankan petualangan ini untuk
kewajiban lain yang lebih utama.
Dan,
di sinilah aku, dalam perjalanan menuju petualangan terakhirku di FUD ini.
---
Kami
melanjutkan perjalanan menuju basecamp. Jalanan sudah gelap, di tepi jalan
berbaris berjauhan lampu remang-remang. Banyak tanjakan yang terlalu curam dan
motor yang kami tumpangi tidak begitu kuat. Sesekali aku dan beberapa teman
yang dibonceng harus turun agar motor tidak rusak.
Sesampainya
di basecamp Deles Sapu Angin, kami disambut oleh para pemegang kepentingan
perizinan. Sempat kami temui kesulitan untuk meminta izin mendaki. Kami bahkan
sampai harus berdiskusi cukup lama di depan basecamp dan hampir ada kemungkinan
kami tidak jadi mendaki hingga target. Bersyukur, pada akhirnya kami masih
diberi kemudahan dan kesempatan mendaki dengan tanggungan beberapa syarat dari
pihak basecamp.
Sabtu, 16 April 2016
Basecamp – pos 3.
Pada
mulanya, saat briefing, PO menjadwalkan tim berangkat jam enam pagi. Semua
anggota tim setuju dengan jadwal tersebut, terlebih setelah mendengar kisah
pendakian tahun lalu di jalur ini yang menghabiskan waktu hampir dua belas jam
untuk sampai ke tempat camp. Namun apa daya, beberapa kebijakan persyaratan
yang diberikan oleh basecamper Sapu Angin pagi itu menambah waktu persiapan
kami. Hampir jam sembilan dan kami baru bisa berangkat.
Melihat
sedikitnya waktu yang kami punya dan medan berat yang akan dilalui, aku
langsung jalan tepat di belakang leader. Aku menyadari kelemahan diriku dan
memilih berjalan tepat di belakang leader sebagai strategi untuk terus terpacu
jalan dan tidak merasa tertinggal. Tapi baru sekian puluh meter melangkah,
posisiku sudah berubah. Sekarang aku tidak lagi tepat di belakang leader, tapi
jadi tepat di depan sweeper. Jarakku dengan yang di depanku cukup jauh. Hahaha…
Hiks :”)
Aku
tersengal-sengal menjalani trek ini. Napasku pendek-pendek. Di belakangku Mas
Rofiq, sang sweeper, menyanyikan satu penggalan lagu pop yang sedang hits berat
di radio belakangan ini dengan riang gembira. “My momma don’t like you and she likes everyone…”
Diulang-ulangnya
bagian itu sampai pening yang mendengarnya. Sayangnya, aku tidak kuat
menyuarakan protes saking kehabisan napas. Dan juga, kupikir-pikir, tak apalah
dia nyanyi-nyanyi menghibur diri. Toh aku juga salut untuk kesabarannya
menghadapi kelambananku.
“Yok,
semangat! Sebentar lagi pos 1. Kalau langit cerah kita bisa lihat Puncak Merapi
lho dari pos 1.” Mas Rofiq mengiming-imingiku hadiah pemandangan supaya aku
mempercepat langkah mengejar anggota tim lainnya. Saat itu memang kami sudah
hampir sampai di pos 1. Setengah jam kemudian, sekitar pukul 11.30, sampailah kami
di tanah yang cukup lapang untuk mendirikan tiga tenda.
“Ini
pos 1?” tanyaku pada teman-teman yang sudah sampai lebih dulu dan sedang duduk
santai di gundukan-gundukan akar yang tertutup tanah. Anggukan beberapa teman
menjawab pertanyaanku. Dari balik semak dan perdu aku memandang ke arah utara,
mencari yang dijanjikan Mas Rofiq. Tapi sepertinya karena saat itu kabut sedang
pekat, puncak Merapi yang gagah itu tidak tampak. Hanya ada banyak awan mendung
abu-abu yang menggantung rendah. Kami beristirahat, membuka bekal air minum,
duduk meluruskan kaki, serta bersenda gurau.
“Sepuluh
menit aja ya istirahatnya, teman-teman. Baru sampai pos 1 nih soalnya.” PO
mengakhiri waktu istirahat dengan memintaku maju menjadi leader sampai pos 2.
Aku terbelalak. PO paham maksud air mukaku. “Nggak papa, Nik. Tenang. Kalau
dari surveiku, jalurnya nggak seberat yang dari pos 2 ke pos 3 kok. Masih lebih
mending Nik.”
Aku
hanya bisa mengangguk pasrah. Setapak demi setapak aku mengambil langkah. Aku
mengakui kelemahanku di gunung saat menanjak. Harus super pelan. Aku teringat
zaman aku Maba dan pertama kalinya naik gunung ke Merbabu. Ih, waktu itu aku
tidak seperti saat ini. Dulu, rasanya staminaku luar biasa. Terkadang, aku
bahkan kesal dengan teman-teman yang berhenti terlalu lama saat di tanjakan.
Sekarang, aku lah teman yang mengesalkan itu.
Untuk
mencapai pos 2 yang ditandai dengan alat pendeteksi gempa di dalam pagar, kami
harus naik turun bukit beberapa kali. Di kanan dan kiri ada jurang yang dalam.
Kabut saat itu sangat pekat. Aku tidak bisa menerka seberapa dalam jurang di
samping setapak. Kabut juga membuatku tidak bisa menikmati pemandangan
pohon-pohon berbentuk aneh seperti dari zaman purba yang katanya banyak tumbuh
di daerah sini. Meski menyayangkan hal tersebut, aku sebetulnya juga cukup
bersyukur. Jika jalur dan medan sulit di depanku bisa terlihat, mungkin akan
lebih berat rasanya memompa semangatku sendiri. Kabut membuatku tidak tahu
seberapa susah jalur yang harus aku hadapi.
Walau
begitu, tetap saja berat sekali rasanya. Suatu kali aku jatuh cukup keras
karena salah memijak tanah yang kopong dan malah hancur. Tanganku terasa perih.
Ternyata saat jatuh barusan, aku berpegangan pada dahan berduri untuk menahan
beban tubuh. Telapak tanganku terluka cukup dalam dan badanku hampir remuk
kelelahan. Baru menuju pos 2 lho padahal.
Seorang
teman membantuku berdiri. “Masih semangat kan Nik?”
Aku
tidak sanggup menjawab saking lelahnya. Bahkan untuk tersenyum saja rasanya
susah sekali. Aku hanya mengacungkan jempol untuk menunjukkan keadaanku masih
terkendali. Kudengar, tahun lalu ada beberapa teman yang menangis di jalur ini.
Aku bisa maklum. Aku berempati dengan teman-teman yang waktu itu sampai
menumpahkan air mata. Sungguh, jalur Sapu Angin ini memang menguji mental dan
pengendalian diri banget.
Perjalanan
masih diteruskan tanpa henti. Pada suatu tanjakan dengan ilalang yang lebat di
kanan kirinya, aku melihat samar-samar ada jeruji-jeruji besi bercat kuning di
atas bukit. Waktu itu sekitar satu jam setelah tengah hari. Semakin menanjak,
semakin tampak bahwa jeruji besi itu adalah pagar yang mengelilingi alat
pendeteksi gempa. Inilah pos 2. Aku agak berlari, lupa dengan rasa lelah
dan berseru-seru kegirangan, “Sampai guys. Sampai!”
Tugas
leaderku selesai di sini. Aku berbisik pada diriku sendiri, mengucap syukur.
Kami
beristirahat, makan biskuit, menenggak air, dan makan kurma. Kurma tersebut
kubeli sehari sebelumnya di minimarket dekat kos. Waktu kubeli, kurma-kurma
dalam bungkusan plastik itu tampak biasa saja. Sekarang saat kuambil dari dalam
carrier, mereka tampak seperti menggoda-goda minta dikeluarkan dari bungkusnya
untuk segera dinikmati. Trek dan bawaan berat sepertinya bisa mengubah cara
pandang orang pada banyak hal, terutama makanan. Makanan apapun semua jadi enak
di sini.
“Wahhh…”
Salah seorang kawan berkomentar sambil tersenyum sumringah saat aku
mengeluarkan bungkusan kurma. Yang lain juga ikut bergumam dan senyum-senyum
ada maunya setelah tahu apa yang dikomentari oleh kawan itu tadi. Aku hanya
tertawa geli melihat tingkah laku orang-orang kelaparan dan kelelahan ini. Aku
mengambil satu buah, lalu mengedarkannya.
Cukup
lama kami beristirahat di pos 2. Karena mulai merasa kedinginan, aku berdiri
dan berjalan mengitari pagar, sekedar melihat-lihat bentuk alat pendeteksi
gempa di dalamnya. Sesekali kuhentak-hentakkan kaki demi menjaga kehangatan tubuh.
Tidak beberapa lama kemudian, PO kembali mengkomando tim untuk melanjutkan
perjalananan.
“Sampai
pos 3 nanti, Mas Diska dan Mas Yandi leader ya. Mas Dhika sweeper.”
Wah.
Leadernya dua pria, senior pula. Agaknya, PO punya maksud tersendiri. Saat ini
sudah hampir jam setengah dua. Butuh kecepatan ekstra untuk sampai ke tempat
camp yang aman sebelum sang surya kembali ke peraduan. Apalagi, dengar-dengar,
medan tersulit dan terpanjang adalah dari pos 2 menuju pos 3 ini. Harapannya,
kalau yang memimpin tim adalah dua senior pria, ritme perjalanan meningkat.
Betul
saja. Cepat sekali mereka berdua berjalan. Seperti strategiku di awal
pendakian, aku berusaha selalu berada tepat di belakang leader. Kali ini aku
berhasil. Kuikuti langkah demi langkah mereka yang lebar-lebar itu. Jalurnya
sama saja. Naik turun, sangat licin, dan sangat curam juga.
Kabut semakin pekat
bahkan kadang jadi terasa seperti gerimis. Ilalang di kanan kiri jalan pun amat
rimbun dan penuh duri-duri kecil. Lecet dan luka sudah menjadi hal yang lumrah,
apalagi bagi leader yang berjalan paling depan dan menjadi orang pertama yang
menyibak jalan. Saking rimbunnya, sering tidak terlihat yang mana jalan setapak
dan yang bukan. Akibatnya, leader sempat salah mengambil jalur. Kok ya pas,
jalur yang salah ambil itu adalah tanjakan dengan kemiringan yang hampir 900.
Susah payah kami pull up sambil menahan beban tubuh dan bawaan.
Sedari
awal, aku tahu bukan hanya aku yang merasakan susahnya jalur ini. Semua teman
berkeringat deras. Seperti diriku, aku yakin otot-otot kaki mereka pasti
berkontraksi maksimal tiap kali menanjak. Saking curamnya, setiap kali
menanjak, aku harus mengangkat lutut hingga berjarak hanya beberapa sentimeter
dari dahi. Tanjakan lutut ketemu jidat, begitu kami menyebutnya. Meski demikian,
tidak kudengar sekalipun keluhan-keluhan manja dari semua anggota tim. Justru
sengsara ini sering diubah oleh mereka jadi candaan dan nyanyian yang jenaka.
Setengah
perjalanan menuju pos 3, hujan datang. Tanah semakin licin. Aku harus berpegangan
pada ilalang untuk tetap berjalan tanpa terjatuh. Sudah pakai cara begitu juga,
masih sering saja terjatuh.
Penderitaan ditambah dengan pengaturan carrier yang
terasa kurang pas dan membuat pundakku sakit. Tidak ada waktu dan tempat yang
cukup lapang untuk membenarkan carrier. Lagipula aku tidak mau menghambat ritme
perjalanan. Aku hanya menarik tali di carrier seadanya agar lebih nyaman walau hanya
sementara.
Demi melihat semua anggota tim yang meski lelah fisik namun tetap
bugar mentalnya itu, aku terpacu untuk lebih semangat. Selain itu, rimbunnya
vegetasi di lereng ini turut menambah dorongan pada jiwa petualanganku. Di satu
sisi aku capek, di sisi lain aku senang bisa berada di tengah alam yang sangat
asli dan asri. Baru kali ini aku melihat jalan setapak lereng gunung yang
selebat ini.
Betapapun, tetap saja
aku ingin cepat-cepat sampai di tempat camp.
To be continued…
Comments
Post a Comment