Skip to main content

Jatuh Hati di Dusun Jati

Apa yang paling membedakan kehidupan desa dan di kota? Hidup di kota menuntut kecepatan, ketepatan, dan kesempurnaan. Hidup di desa memberi kesempatan, kelegaan, dan kesederhanaan. Tidak selamanya tuntutan itu negatif, ada kalanya kita butuh dituntut untuk berkembang. Namun terkadang, dorongan untuk memenuhi seluruh tuntutan itu membuat manusia kota lupa akan kebajikan hidup yang mungkin bisa ditemukan jika mau menenangkan diri sejenak, seperti yang manusia desa hampir selalu lakukan.

During PPM tahun 2015 ini diadakan di Dusun Jati. Sebuah dusun yang pernah kusinggahi selama hampir seminggu, dua tahun yang lalu. Waktu itu sekolahku mengadakan live in. Kegiatan live in itu mampu membuatku jatuh cinta pada Dusun Jati. Begitu ada kesempatan untukku membagikan rasa tersebut pada teman-teman dalam tim PPM, aku tidak menyia-nyiakannya. Aku mengusulkan Dusun Jati sebagai tempat during kami.

Sepanjang perjalanan menuju dusun, ingatanku melayang ke masa dua tahun yang lalu. Saat aku sama sekali tidak memiliki bayangan seperti apa dusun ini. Saat aku mencemaskan rumah yang akan kutempati. Saat aku ragu akan kemampuanku melewati seminggu di suatu pelosok desa. Sekarang aku dihinggapi perasaan yang berbeda. Aku tidak lagi bingung, cemas, atau ragu. Malahan aku tidak sabar untuk tiba di Dusun Jati dan merasakan ketenangan suasana desa yang diwarnai oleh keramahan warganya.

Aku meresapi setiap bingkai pemandangan dari dalam kaca jendela mobil yang mengantar kami. Pemandangan khas Gunungkidul, antara bukit berbatu penuh semak belukar atau sawah hijau luas tanpa pepohonan yang ujungnya menyentuh cakrawala. Dari ujung mata aku memerhatikan teman-teman juga sedang memandang jauh keluar jendela sambil sesekali berbicara satu dengan lainnya.

Lalu, dari dalam hatiku timbul pertanyaan, apakah teman-temanku merasakan kegalauan yang kurasakan dulu? Jika iya, aku ingin meyakinkan mereka bahwa apa yang akan didapatkan selama di Jati nanti akan sangat membayar segala rasa galau yang mungkin muncul. Namun niat itu kuurungkan. Aku yakin mereka, dengan cara masing-masing, akan menemukan kedamaian dan kehangatan yang tanpa henti ditawarkan oleh Dusun Jati dan orang-orangnya.

Agenda utama tim kali ini adalah memberikan outing untuk anak-anak SDN Jati dan karang taruna. Lima perempuan memfasilitasi outing SD yang beranggotakan tujuh puluhan anak? Sungguh melelahkan. Akan tetapi, semua keletihan terbayar setelah kami melihat antusiasme dan keceriaan anak-anak, juga kepuasan para guru yang tersampaikan lewat berulang kali ucapan terima kasih. Kami merasa diterima dan siap untuk memberi outing bagi para karang taruna desa. Sayangnya, karena beberapa faktor eksternal di luar kendali tim, kegiatan untuk karang taruna dibatalkan.

Pada waktu luang di during kali ini, tidak banyak yang kukerjakan. Aku lebih banyak di dalam rumah, membantu Bu Kadus dan mertuanya masak di dapur, menemani ponakan-ponakan Bu Kadus - Dika dan Velisa - bermain, dan berbagai kegiatan rumahan lainnya. Berbeda dari anggota tim PPM lainnya (Ave, Nina, dan Mbak Lina), aku dan Mbak Dora yang ditempatkan serumah tidak sempat menemani mbah ke ladang atau melakukan kegiatan lain. Selain karena waktu kami di sini hanya sedikit, agenda keluarga ini sepertinya memang tidak banyak dihabiskan di ladang.

Meski demikian, sempat beberapa kali aku bersama Mbak Dora berkeliling dusun menemani Dika dan Velisa bermain. Kami memanjat bukit berbatu yang penuh semak belukar. Kami mengunjungi rumah yang ditempati Nina, Ave, dan Mbak Lina. Kami juga mengumpulkan bebatuan di pinggir jalan yang kata Dika bisa dijadikan batu akik, entah info itu benar atau hanya permainan anak-anak saja.

Banyak yang berubah dari Dusun Jati setelah dua tahun tidak kusinggahi. Ada beberapa rumah yang bentuknya berubah, ada anak-anak yang sudah tumbuh lebih tinggi dan dewasa, ada wajah-wajah baru yang tidak pernah kulihat dua tahun lalu. Walaupun demikian, ada hal yang tidak berubah dari dusun ini dan kuharap tidak akan pernah berubah, yaitu ketulusan dan keterbukaan orang-orangnya.

Sabtu malam, Aku, Mbak Dora, dan Ave mengikuti misa di Kapel desa. Seusai misa, aku mengajak mereka berdua mengunjungi orangtua asuhku pada live in dua tahun lalu, namanya Pak Pomo dan Bu Ruki. Tidak beberapa lama, Nina dan Mbak Lina menyusul kami. Aku ikut Bu Ruki ke dapur, membantu menyiapkan suguhan minuman. Bu Ruki tidak melarang. Tidak memperlakukanku sebagai tamu. Aku sama sekali tidak tersinggung dan malah merasa sudah dianggap kerabat dekat olehnya. Teman-temanku yang pada awalnya adalah orang asing bagi keluarga ini pun, diterima dengan akrab. Kami kembali ke rumah live in masing-masing malam itu dengan hati yang hangat, bekas berkunjung ke rumah Pak Pomo. 

Pagi hari sebelum kami kembali ke Yogyakarta, Pak Pomo dan Bu Ruki melintas di depan rumah Pak Kadus dengan motor mereka. Sepertinya mereka hendak berladang. Pak Pomo menghentikan motornya. Aku berseru dan melambaikan tangan kepada mereka. Tak kusangka, Bu Ruki malah turun dari motor dan memberi sekantung penuh kacang hasil tanah mereka. Bu Ruki menjabat tanganku erat sembari berkata, “Maaf, mbak, ibuk harus ke ladang e sekarang ini. Nanti ndak bisa ngantar pulang Mbak Nike...”

Terharu aku dibuatnya. Sekarung kacang mungkin bukan suatu yang berlebihan buatku, tapi aku yakin itu adalah jumlah yang besar untuk mereka. Aku berujar terima kasih sambil menunduk dalam-dalam mencium tangan Bu Ruki. Pak Pomo dari atas motor melihatku dan tersenyum. Aku balas tersenyum dan mendekati Pak Pomo untuk mencium tangannya juga. Perpisahan kecil itu berakhir dan mereka melanjutkan perjalanan ke ladang. Setelah Pak Pomo dan Bu Ruki hilang dari pandangan, Bu Kadus menarikku ke dapur dan menunjuk beberapa bungkus plastik. “Itu ada nasi sama lele. Lelenya dua buat kamu, dua lagi buat Dora ya. Ada sambal juga. Nanti dimakan yaa buat bekal selama perjalanan.”

Aku hanya mampu berucap terima kasih untuk kesekian kalinya. Kebaikan orang-orang ini sanggup membuatku heran. Mereka memberikan yang terbaik dari yang mereka punya. Dusun Jati bukanlah dusun yang tanpa masalah. Beberapa kali aku mendengar desas desus persoalan politik di dusun ini, tapi itu tidak menghalangi penerimaan hangat mereka terhadap kami, para pendatang asing ini. Banyak pelajaran yang kudapat, bahkan setelah kedua kalinya aku berada di Desa Jati.

Sekali lagi, aku jatuh hati di Dusun Jati.


1.7.15

Comments

Popular posts from this blog

Throwback

Setelah dua kali ops ke daerah Gunungkidul dan melewati kota Wonosari, aku teringat sesuatu. Awal kelas 12 dulu, aku pernah hidup selama satu minggu bersama orang-orang desa di Wonosari.  Kegiatan itu disebut live in. Aku sebenarnya sudah pernah menulis soal live in di blog ini, tapi tidak lengkap. Ada tulisan lengkapku tentang live in, yang kubuat karena diwajibkan sekolah (hehe), tapi hanya dipublish di blog kelasku. Nah, demi mempermudah dokumentasi, aku mau copy paste tulisan lengkap live in-ku ke sini. hehehe.  *** Memilih Bahagia oleh Eunike Adiprasasti / XIIA2/ 11 Hari pertama sampai di Wonosari saya merasa takut sekaligus excited. Siapa yang akan jadi keluarga saya? Bagaimana rumah saya nanti? Apa saja yang harus saya kerjakan? Dan, pertanyaan  yang paling sering muncul adalah apakah saya akan menikmati hidup di sana? Saya bukan orang yang melihat situasi hanya dari nikmat atau tidak nikmatnya saja. Saya punya rasa gengsi yang tinggi untuk m...

Brief Answers to the Big Questions - Stephen Hawking

  (curhat sambil semi review buku) I used to think of Stephen Hawking as someone sarcastic and bitter as Richard Dawkins. (Kalau ada yang pernah baca bukunya Dawkins, misalnya yang the God Delusion, pasti mengenali kekhasan cara pandangnya terhadap kreationisme dan hal gaib lai nnya. Kaku bener beb kayak kanebo kering.😅) Secara mendasar, sama seperti Dawkins, Hawking pun menolak kreationisme. Tapi, Hawking expressed  his belief about creationism and other big questions humans have ever had in a kind and humorous way. He did not diminish the magical feeling toward the awe-inspiring universe. But at the same time was also trying to rationally explain how this remarkable world works. Jadi kayak bisa bikin pembaca over-optimistic dan bodoh seperti saya merasa it’s okay to questioning everything sambil tetap hopeful about life… He certainly was a lovely and witty man. Dalam bukunya, Brief Answers to the Big Questions, Hawking menjelaskan konsep-konsep theoretical ph...