Skip to main content

Sindoro

Ini kali ketigaku mendaki gunung. Alasanku mendaki kali ini sederhana; mencari kisah. Aku sedang berada pada titik hidup tanpa kisah menarik. Lagipula, aku belum pernah naik Sindoro. Lagipula, Sindoro ada nun jauh di Wonosobo. Lagipula, di gunung pasti selalu ada cerita baru.

[warning: long post]

upacara sebelum berangkat




Rombongan memulai perjalanan 4 jam sejak sekitar pukul setengah tujuh malam. Kami sempat berhenti sejenak di salah satu masjid di daerah Wonosobo untuk meregangkan badan, menyantap sedikit jajanan yang dibawa, dan beberapa orang sholat.

Mas Dhika
Istirahat di masjid
Usai istirahat, kami meneruskan perjalanan. Aku sudah mengantisipasi dinginnya malam yang dibasahi hujan dengan mempererat pakaian dan penghangat tubuh. Hingga menuju daerah basecamp kami sempat terpisah. Motor Mas Dhika kumat, terpaksa Mas Dhika harus berjuang mengajak motornya maju dalam keadaan yang sudah renta. Aku dibonceng Mas Azzam, sebagai sweeper, mengiringi Mas Dhika dan Mbak Mayang yang diboncengnya. Sedangkan 4 motor lain sudah terlanjur melaju cepat ditelan gelap. Mbak Mayang sebagai PO juga tidak yakin di mana letak basecamp yg sudah ia hubungi. Singkat cerita, kami berdua belas akhirnya kembali bisa berkumpul dan menyelesaikan masalah permotoran dan basecamp dengan lancar, meski menghabiskan waktu yang lebih panjang. Kami tiba di basecamp hampir tengah malam.

Basecamp yang kami tempati adalah rumah seorang warga lokal bernama Mbah Amin. Sudut ruang tamunya diberi tikar dan karpet. Begitu pula di ruang keluarganya, yang bisa kukenali dari keberadaan televisi di atas meja rendah. Ruang tamu dan ruang keluarga ditempati oleh para pria. Kami, para wanita, ditunjukkan kamar kecil seluas 3x3 meter berisi kasur busa dan karpet. Lebih hangat dan private. Segera setelah Mbah Amin mempersilakan kami istirahat, aku terlelap.

***

Pukul 09.00
Rombongan membentuk lingkaran di depan rumah Mbah Amin. Pusat lingkaran itu adalah seorang pria berpostur tinggi tegap, berparas tegas, penuh wibawa. Katanya, dia adalah ketua basecamp Sindoro. Kalimat-kalimat himbauan untuk berhati-hati selama mendaki meluncur dari bibirnya, dibumbui oleh beberapa kisah mistis tapi (katanya) nyata yang pernah terjadi pada mereka yang tidak menuruti himbauan, dan ditutup dengan kalimat demikian. "Nggak ada gunung yang tinggi. Pada akhirnya, kalau kalian berhasil mengalahkan diri sendiri, pucuk gunung itu ada di bawah telapak kaki kalian."

taking selfie before started trekking

Usai mendengar pesan dari ketua basecamp, melafalkan doa bersama, dan menyuarakan "Never Give Up" ke udara, kami melangkah. Sebelum aku memilih untuk naik Sindoro dan menuliskan nama di papan tanda komitmen ikut ops hingga tahap post-nya, aku sempat browsing tentang Sindoro. Jalur yang lebih mudah adalah Kledung. Kukira karena ini ops fun, PO akan memilih jalur yang lebih mudah. Ternyata tidak. Sigedang yang terpilih.

Di blog orang-orang disebutkan Sigedang tidak memberi 'bonus'. Mereka sudah pasti tidak bergurau karena sepanjang perjalanan menuju tempat camp tidak kutemui jalan mendatar. Hanya pada pos-pos peristirahatan ada sejengkal tanah landai. Mas ketua basecamp pun sempat menekankan soal hal ini. "Mengeluh hanya akan memperparah kondisi. Kalau memang tidak kuat, jangan gengsi. Lebih baik berhenti. Sigedang ini jalur baru, tidak akan kalian temui 'bonus'."

Masih Jalan Raya

Kebun Teh




























Perjalanan penuh tanjakan diawali dari jalan raya, dilanjutkan kebun teh, sampai akhirnya ke hutan. Setengah perjalanan dalam hutan, kami memutuskan untuk beristirahat. PO mempersilakan, bagi mereka yang menjalankan, untuk sholat. Kenyataannya, kami malah membongkar carrier, mengambil nesting dan kompor, lalu memasak air untuk menyeduh kopi. Di tengah proses memasak air, hujan menetes sedikit demi sedikit hingga semakin deras. Mas Pere dan Mas Dhika yang memasak air tidak kehilangan akal. Mereka membagi peran, ada yang memasak air, ada yang berdiri menutupi dengan ponco. Teman-teman lainnya, juga aku, ikut bergantian membantu. Tetesan hujan turun rapat-rapat diiringi kabut menambah hawa dingin. Aku menghentak-hentakkan kaki dan menggoyangkan badan demi menjaga kehangatan badan.

Tidak lama kemudian kami kembali menanjak. Hujan yang tanpa ampun mengguyur basah lereng Sindoro, menghasilkan aliran yang serupa sungai pada jalur kami mendaki. Segera setelah kami bersiap, Radip memimpin di depan. Sadar akan kelemahan diri sendiri, aku mengekornya. Aku selalu berusaha untuk tidak tertinggal di bagian belakang barisan. Terkadang aku heran dengan stamina teman-teman yang sanggup mendaki tanpa henti. Aku sudah menyiasati langkah dengan selalu memulai lebih dulu, tapi mereka selalu berhasil menyusul. Tahu-tahu, tinggal tersisa tiga orang di belakangku, termasuk sweeper.

Dua jam terakhir menuju tempat camp, kami mendaki bebatuan. Batang pepohonan berwarna hitam dan kering bekas kebakaran Sindoro tempo hari, membingkai jalur. Sesekali aku menoleh ke belakang, mengamati pemandangan awan dan pedesaan di kaki gunung. Leader dan orang-orang yang tadi mennyalipku sekarang nampak duduk-duduk di bebatuan. Aku merasa belum membutuhkan istirahat dan berharap bisa mendahului mereka berjalan supaya tidak terlalu tertinggal. Maka, aku terus melangkah perlahan hingga berada puluhan meter di atas rombongan. Ingin rasanya untuk terus mendaki, tapi atas nama keamanan, aku menjaga jarak di titik yang masih terlihat dan duduk di salah satu batu. Mataku mulai terasa berat sementara aku menyapu pandangan ke arah rombongan, bebatuan basah, dan langit yang mendung. Pandanganku buram dan menggelap. Aku bermimpi.

Entah berapa lama kemudian, ada yang menepuk bahuku. Aku membuka mata, Mas Febri ternyata. Dia menyodorkan segenggam batangan tipis talas asin yang lezat sekali. Aku kembali bangkit menyambut ajakan Mas Febri untuk melanjutkan perjalanan lebih dulu dari rombongan yang juga sudah mulai bersiap di bawah sana.

Separuh jam kemudian, gerimis kembali terasa. Di sepetak tanah yang landai, kami menjumpai sebuah dome yang dari dalamnya terdengar dentuman keras musik kekinian. Seorang pemuda keluar mengenakan jaket dan celana pendek. Melihat kami, ia berseru, "Nggak usah naik lagi, mas, mbak! Bikin dome dekat sini saja, di atas bau belerang dan ada badai!"

Mas Febri menjawab singkat dan sopan. Tanpa acuh, pemuda itu kembali masuk ke dalam dome sambil membawa nesting dan kompor yang sebelumnya ada di teras dome. Musik kekinian masih berdentum hebat. Kami memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan setelah berkonsultasi dengan basecamper melalui HT yang dipegang PO. Dari sinilah aku merasakan perjalanan yang seperti tanpa ujung. Aku kembali berjalan di bagian belakang. Kala menengadah, aku kira leader sudah sampai area camp. Ternyata belum.

Sekuat raga aku menahan letih. Berulang kali aku ingin menyerah. Beruntung masih ada sebagian diriku yang berteguh hati. Tidak satu patah kata pun aku ujarkan dalam bentuk keluhan. "Hei, batu," ujarku suatu kali saat aku sendiri. Teman-teman yang di depan sudah jauh, yang di belakang masih jauh. "Kenapa sih kamu terlalu tinggi dan ada banyak? Paha dan betisku udah mau patah rasanya." Aku mengangkat kaki. "Oh, tapi sekarang aku ada di atasmu, ding. Tinggimu nggak seberapa ternyata."

Seketika, aku paham. Semua akan terasa lebih ringan apabila aku tidak terfokus pada cara-cara keluar dari kondisi yang ada. Justru saat aku memutuskan untuk menikmati proses yang sulit ini lah, aku mampu memetik buah yang manis.

Pukul 17.40 WIB
Menjelang gelap, aku sampai di tempat camp. Aku menuju ke balik semak, di mana tiga orang teman (Mas Febri, Mas Yoga, dan Dedut) sudah terlebih dulu membangun dome. Aku membantu Dedut mengatur bagian dalam dome sementara Mas Febri dan Mas Yoga berganti baju di luar. Usai aku dan Dedut merapikan dome dan juga berganti baju, Mas Febri dan Mas Yoga buru-buru masuk menghangatkan diri. Matahari sudah hilang, digantikan oleh langit yang menggelap dan pemukiman di lembah yang menyala berkelip. Bintang-bintang seakan pindah ke bawah sana. Kami menghabiskan malam dengan memasak, berbincang, menyeduh susu, dan tidur berhimpit-himpitan.

"Ah, ini bagian favoritku kalau di gunung." kata Mas Febri sambil menata sleeping bag-nya sebelum tidur. "Anget, kenyang, aman."

***

(Kira-kira) Pukul 06.00
Ada suara-suara di luar dome yang berisik memanggil nama kami berempat untuk berkumpul. Aku tersadar, tapi enggan membalas. Di kanan kiriku semua masih terlelap. Langit sudah cerah. Aku duduk dan meregangkan badan, membuat ketiga temanku juga ikut terbangun. Kami keluar, bergabung dengan yang lain untuk sarapan, dan bersiap untuk menuju puncak.

bersiap muncak
Udara di Puncak Sindoro terasa padat oleh belerang. Aku menarik masker ke hidung demi menghirup bau busuk. Dari kejauhan tampak kawah Sindoro yang menghembuskan asap kehijauan. Meski beberapa kali terbatuk-batuk, kami tetap menetap, membentuk lingkaran. Lagu mahasyahdu, Hymne Palapsi, terlantun waktu kami satu persatu menyambut bendera yang dihaturkan. Dua belas minuman puncak (mincak) dan puluhan foto kemudian, kami melanjutkan agenda, menyudahi perjalanan.

Kawah Gunung Sindoro
Mau Foto, tapi Silau
Hujan badai mengiringi perjalanan pulang kami. Beberapa kali rombongan terpisah tanpa saling bisa melihat karena kabut yang terlampau pekat. Jarak pandang hanya sekitar 1,5 meter. Dedut yang berjalan bersamaku membunyikan peluit, mengharapkan informasi keberadaan teman yang lain. Namun tidak terdengar  ada bunyi peluit balasan. Dengan segala risiko, kami terus berjalan. Pada akhirnya, kami bisa kembali berkumpul di pos tiga yang merupakan tanah cukup lapang dengan batu besar di tengahnya, berlukiskan typ-ex karya pendaki-pendaki kurang bertanggung jawab. Perjalanan dilanjutkan dengan hujan yang masih terus mengguyur. Aku berulang kali terpeleset jatuh, bahkan tersungkur macam orang sujud. Orang-orang yang di belakangku bukannya membantu, tapi malah menertawakanku.

Pukul dua siang, seluruh rombongan berhasil kembali dengan selamat di basecamp. Bergiliran kami ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sesudahnya, istri Mbah Amin menyuguhkan makan siang yang nikmat. Kami beristirahat cukup lama dan baru berpamitan seusai sholat maghrib. Di perjalanan pulang, kami mampir sebentar ke Kota Wonosobo untuk mencicipi kuliner khas-nya, mie ongklok.

Kembali

Meski lelah, tapi aku puas. Jalur Sigedang yang cukup sulit bagi amatiran sepertiku telah menyediakan latihan batin sehingga aku belajar untuk menjadi lebih sabar, tekun, dan fleksibel. Target pribadi pun terpenuhi, aku berhasil memberi tambahan kisah menarik dalam susunan sejarah hidupku.

Comments

Popular posts from this blog

Is There a Way to Make Everyone Loves You?

I guess there is no way we can please everyone, let alone ask everyone to love us. You can still try to make people like you, though. You can be: a good listener a helpful friend a supportive family member a loving partner, but there is no guarantee that you will be loved by the deeds you have done. People are unconsciously conditioned to like or dislike certain things or other people. They have their own perception of what's good or bad, which could be quite different from your perception of good and bad. So... In the end, just be unapologetically you . Stay true to who you are. Know that whenever someone judges you, they actually judge their perception of you. Which most possibly is not the real you. Know that any concept that molds our worldly status is just, well... worldly. Ephemeral. Impermanent. Keep spreading love and kindness. And never let anyone or anything stops you from doing good. Because you can't be perfect for everyone, but you can always try to do your best ev

Current Favorite Things

Here are some things I've been obsessed to this past month: 1. Van & Camp Life on Pinterest source: Pinterest Source: Pinterest 2. Videos of Tiny Apartments on Youtube    I'm officially obsessed with beautiful minimalist home design!  3. Classical Music My favorite is Satie's Gymnopedie no.1 . I listen to it almost every night before sleep. The song brings a feeling of yearning, like being pulled back and forth through time. Like longing for something happening in the past to be happened once more. Put me in between the feeling of wistfulness and gratitude.  This youtube video is one of the best plays of Gymnopedie no.1. It's actually just a usual Gymnopedie no.1 with some rain sound in the background. But what make it good is the nostalgic stories people wrote on the comment section . Reading those stories while listening to the music is super calming. 4. Weekly English Chit Chat Club It's been almost a month since the beginning of this club. At first, Mbak Zia

Throwback

Setelah dua kali ops ke daerah Gunungkidul dan melewati kota Wonosari, aku teringat sesuatu. Awal kelas 12 dulu, aku pernah hidup selama satu minggu bersama orang-orang desa di Wonosari.  Kegiatan itu disebut live in. Aku sebenarnya sudah pernah menulis soal live in di blog ini, tapi tidak lengkap. Ada tulisan lengkapku tentang live in, yang kubuat karena diwajibkan sekolah (hehe), tapi hanya dipublish di blog kelasku. Nah, demi mempermudah dokumentasi, aku mau copy paste tulisan lengkap live in-ku ke sini. hehehe.  *** Memilih Bahagia oleh Eunike Adiprasasti / XIIA2/ 11 Hari pertama sampai di Wonosari saya merasa takut sekaligus excited. Siapa yang akan jadi keluarga saya? Bagaimana rumah saya nanti? Apa saja yang harus saya kerjakan? Dan, pertanyaan  yang paling sering muncul adalah apakah saya akan menikmati hidup di sana? Saya bukan orang yang melihat situasi hanya dari nikmat atau tidak nikmatnya saja. Saya punya rasa gengsi yang tinggi untuk mengakui bahwa saya