Skip to main content

Hai, Puncak Pertama!

Puncak Merapi dari Merbabu
Mendengar Palapsi akan mengadakan operasional ke Gunung Merbabu tanggal 26 s.d. 28 September 2014 dan membuka kesempatan bagi anak-anak baru untuk ikut, tanpa pikir panjang aku langsung mendaftarkan diri. Ini adalah operasional pertama Palapsi yang aku ikuti. Dengan semangat empat-lima, aku melakukan semua rangkaian persiapan pra pendakian. Jogging dan sprint. Push up, sit up, back up. Juga naik turun tangga GSP (Grha Sabha Pramana) yang serasa tiada akhir itu. Semua kulakukan. Tidak lupa briefing, yang dipimpin PO kali ini, Mbak Mayang, juga kuikuti. Setelah briefing, langsung berburu barang pinjaman ke sana kemari. Carrier, matras, sleeping bag, dan keperluan lainnya. Fisik kuat, mental sehat, barang bawaan lengkap, semua siap.





 ***

Jumat malam. Setelah molor hampir dua jam dari rencana awal, rombongan berangkat. Yang berangkat operasional kali ini ada 23 orang. Malam itu 18 orang berangkat terlebih dulu. Dua lagi, Mas Aad dan Mas Hakam, menyusul saat hampir tengah malam. Tiga yang lain, Mas Anggra, Mas Ghozi, dan Mbak Novi, menyusul keesokan harinya. Mereka bertiga tidak selalu bersama-sama dengan rombongan. Sejak awal memang sepertinya udah berencana datang menyusul dan pulang lebih cepat. Hanya sewaktu di puncak dan camp area rombongan kami lengkap 23 orang.  

Perjalanan menuju base camp malam itu aku rasa sangat dingin dan panjang. Aku menyesali pilihan kostumku, kaos tipis dan jaket saja. Rasanya mau beku diterpa angin kencang malam-malam. Jemari tangan kaku, telinga kedinginan, mata berat. Aku dibonceng Mas Rofiq, di motor paling depan.  “Udah, nyanyi-nyanyi aja biar nggak terlalu kedinginan. Jangan ketiduran.” Itu saran Mas Rofiq setelah beberapa kali helmku terantuk helmnya tanda aku sudah hampir tidak mampu menahan kelopak mata tetap terbuka. Inginnya sih mengikuti saran Mas Rofiq, tapi sepertinya otakku bagian penyimpanan lagu sudah mulai masuk angin juga nih. Susah mengingat satu judul lagu pun. Apa lagi liriknya.

Akhirnya, setelah dua-tiga jam penuh perjuangan menahan kantuk dan dingin yang menyerang bergiliran, kami sampai di Base Camp. Motor-motor kami parkir rapi. Tempat paling hangat di Base Camp kami tag untuk tidur, membersihkan diri sekenanya dengan air sedingin es, teh panas diminum. Lalu Building rapport – menyapa dan beramah tamah dengan para pendaki lain - dilakukan (meski tidak begitu efektif, karena sudah sangat malam dan ada anggota kami – Agatha – sedang demam). Setelahnya, kami tidur.

at the base camp
***
Sabtu pagi.  Belum genap subuh, aku sudah setengah bangun karena mendengar suara bercakap dari para pendaki lain. Aroma tungku dari ruangan sebelah juga menyergap hidungku. Samar-samar aku mendengar salah satu dari rombongan kami bicara soal sunrise yang bagus walau ini masih di base camp. Tergoda iming-iming sunrise, aku beranjak dan keluar base camp. Eh, ternyata betul. Sunrise-nya indah. Kamera keluar dan momen diabadikan. Saat itu belum terpikirkan olehku betapa noraknya kami. Kami di sini maksudnya, ya, anak-anak 2014. Baru juga melihat sunrise di base camp, memori kamera sudah cukup banyak dibebani. Beberapa selfie kemudian, segelintir orang mulai sadar diri untuk segera menyudahi kenorakan ini. Mas Endro yang ada di situ pun mengajak, “Yuk segera siap-siap. Nanti di puncak bakal lebih kece kok sunrisenya.”

Sunrise di base Camp


Kami kembali ke dalam Base Camp untuk mempersiapkan diri dan bawaan. Persiapan diri dengan sarapan dan ibadah, persiapan bawaan dengan menata ulang carrier. Mereka yang merasa sudah selesai menata, langsung menggendong carrier keluar. Tiba-tiba ada yang nyeletuk, “Waduh, berat juga ternyata carriernya. Kuat nanjak nggak ya nanti…” Mbak Mayang, yang mendengar celetukan dari seseorang yang diduga anak 2014 itu, menghibur, “Tenang ajaa, kalau lewat jalur Selo ini, perjalanan kita bakal landai sampai Sabana 0 (Nol) kok. Jadi semoga nggak terlalu kerasa berat.”

Sebelum mulai mendaki, kami berkumpul melingkar di tempat yang cukup lapang. Carrier ditaruh di atas tanah dan kami mulai pemanasan. Nah, saat pemanasan inilah kemampuan packing carrier diuji. Yang lolos ujian adalah mereka yang carrier-nya bisa berdiri tegak tanpa dipegangi atau disokong apapun. Sebaliknya, yang gagal dan harus remedial packing adalah mereka yang carrier-nya macam kepala mahasiswa yang sedang mengantuk di kelas membosankan. Tegak tiga detik, mengayun, dan yak, jatuh. Kalau sudah begitu, mau nggak mau, harus dibongkar lagi. Supaya saat nanti naik gunung, carrier seimbang dan tidak menekan pundak terlalu parah dan bikin sakit.

Seusai pemanasan, Mbak Mayang mulai mengatur urutan perjalanan. Rombongan dibagi menjadi tiga kelompok. Diharapkan sampai camp area nanti urutan jalan tetap sesuai, kecuali ada pertimbangan khusus. “Kita jalan lewat jalur situ aja, coy!” cetus Mas Febri tiba-tiba. Mas yang satu ini pernah menjadi Kepala Divisi (Kadiv) Gunung sebelum Mas Rofiq (Kadiv yang sekarang). Ciri khas Mas Febri: hampir tak pernah lupa menyebut kata coy di akhir setiap ucapannya. Sambil bicara, tangan Mas Febri menunjuk ke arah yang tak lazim. Mengapa tak lazim? Karena dari tadi jarang sekali, hampir tidak ada malah, pendaki yang terlihat melewati jalur pilihan Mas Febri.

“Mas, aku nggak ngerti jalan kalau lewat situ. Kita lewat yang biasa ajaaa deh!” kata Mbak Mayang meragukan ide Mas Febri. Menanggapi keraguan Mbak Mayang dan raut wajah anak-anak 2014 yang tak tahu arah (literally….asli…), Mas Febri berusaha meyakinkan, “Tenang aja, coy. Lebih enak lewat situ kok. Lebih cepet, coy!” Terbawa semangat Mas Febri, rombongan mulai berjalan. Tapi baru sepuluh langkah, kok, rasanya aku mau pingsan. Ternyata naik turun tangga GSP 20 kali nggak ada tandingannya dengan ini, coy!. Napas menipis, carrier semakin menekan pundak, jalan semakin menanjak.

so tired that we took nap for a while
Wah, parah. Kalau jalur semacam ini disebut jalur landai, gimana nasib jiwa ragaku setelah Sabana 0 nanti? Selama ini aku pikir fisikku cukup kuat. Tapi ternyata kekuatanku hanya sampai di anak-anak tangga GSP saja. Dari sebelas anak 2014 yang ikut, sepuluh di antaranya baru pertama kali naik gunung. Mungkin semua berharap bisa jalan mendatar, setidaknya di awal-awal perjalanan ini. Namun, alih-alih dapat jalan mendatar, di depan mata malah terhampar bukit vertikal.

Alhasil, 2014 menyuarakan protes keras. “Mbak Mayaaaang, ini yang namanya landaiii?!?!”  Mbak Mayang segera menangkis, “Siapa tadi yang nunjukkin jalan iniii? Hayoo…”.  Mata Mbak Mayang melirik ke seseorang yang tadi mencetuskan ide jalur aneh ini. Yang dilirik sepertinya tidak merasa. Wajahnya tetap sumringah. Langkah kakinya lebar-lebar. Pandangannya menjelajah, menikmati pemandangan. Bagi 2014, awal pendakian ini penuh sengsara, namun tampaknya bagi Mas Coy, inilah yang disebut indah.  

2014!!!
Tapi, mungkin benar kata Tulis Sutan Sati dalam karya roman-nya “Sengsara Membawa Nikmat”. Meski medan berat, namun lewat jalan tak lazim itu perjalanan kami jadi lebih cepat. Kami memotong jalur. Dengan waktu singkat, kami sudah sampai di Pos Satu, tempat istirahat pertama. Setelah melepas dahaga, duduk-duduk sejenak, mengobrol, dan tak lupa foto-foto, kami melanjutkan perjalanan. Perjalanan selanjutnya ternyata masih cukup panjang, tapi kami tetap semangat. Apalagi sepanjang pendakian, banyak hiburan menarik yang cuma-cuma kami dapat, seperti:

  1. Pemandangan indah. Namanya juga naik gunung, pasti bertemu dengan pemandangan yang indah. Memang, waktu itu Merbabu sedang kering-keringnya. Debu di mana-mana. Saking banyaknya debu, kalau kita menggerakkan gigi seperti mengunyah, rasanya seperti makan kerikil. Sejauh mata memandang, tumbuh-tumbuhan berwarna coklat semua. Lama-lama agak membosankan juga melihat satu warna itu. Untungnya, sesekali di beberapa lokasi, kita bisa melihat pemandangan yang cukup lumayan. Kadang, di beberapa titik perjalanan, tampak puncak Merapi mengintip sedikit dari balik pepohonan.
  2. Lawakan dadakan. Mulai dari candaan Mas Dhika yang cerdas sekali sampai candaan Mas Diska yang…………..… cerdas sekali juga. Saking cerdasnya candaan Mas Diska, kami jadi harus memilih antara tertawa atau merenunginya. 
  3. Teman yang senang foto-foto dengan kamera ponsel yang mampu membuat semua orang menjadi fotogenik. Saranku, mendakilah dekat-dekat dengannya supaya bisa (ceritanya) tidak sengaja kefoto. Kalau ngebet kepengen foto, ya udah sekalian aja minta difoto.
  4. Teman dengan snack melimpah. Ahh, hiburan yang satu ini tidak perlu kujelaskan kan ya?
  5. Dan, yang paling yahud adalah permainan sisir-harmonikanya Mas Adi a.k.a Mas Brimob. Sisir-harmonika itu sebenarnya adalah sisir rambut jenis wide-toothed comb yang dibungkus plastik, lalu ditiup. Saat ditiup, sisir itu akan mengeluarkan suara seperti harmonika. Sepanjang perjalanan, dengan penuh sukacita dan talenta luar biasa, Mas Brimob memainkan alat musik dadakannya itu. Dari lagu-lagu barat sepertiI Believe I can Fly sampai lagu pemicu joget semacam Kopi Dangdut. Semua ia mainkan dengan riang gembira.
Akhirnya, setelah melakukan pendakian yang lebih banyak istirahatnya dibanding jalannya itu, kami sampai di area camp terakhir. Saat itu sekitar pukul empat sore. Itu adalah pencapaian yang lumayan, mengingat di rombongan ini ada sepuluh pendaki amatiran. Setidaknya, kami sudah sampai sebelum matahari terbenam. Dome (tenda) dipasang, peralatan masak dikeluarkan, konsumsi bersama dikumpulkan. Saatnya kembali menunaikan kewajiban: foto-foto.

Kewajiban foto-foto tuntas saat matahari sudah hampir pamit undur diri dari cakrawala. Sumber panas alami itu sebentar lagi pulang ke peraduannya. Dan, semua orang mulai merasa kedinginan. Untuk menghangatkan diri, kami masuk ke dome. Dari rombongan berisikan banyak orang itu, 18 masuk ke dome yang sama, dome Consina. Mas Endro dan Mas Brimob memilih menghangatkan diri dalam sleeping bag di dua dome yang terpisah. Mas Anggra, Mas Ghozi, dan Mbak Novi di dome lainnya. Kami yang berdelapan belas itu tidak melakukan apa-apa kecuali nyanyi-nyanyi, minum kopi hangat yang diseduh di botol air mineral 1.5 L yang sudah dipotong melintang, dan duduk berhimpit-himpitan. Rasanya sungguh menyenangkan. Luar-dalam hangat.

Waktu untuk salat Maghrib pun tiba. Perkumpulan dibubarkan. Mas Aad sebagai koordinator seksi konsumsi, meminta teman-teman untuk kumpul lagi di dome Thai sehabis salat dan membicarakan rencana masak.

 ***

Aku menunggu Mbak Mayang, Nina, dan Kiki salat di dome-nya Mbak Mayang (aku lupa apa nama dome-nya). Sambil menunggu, aku mendengar dome Thai sudah mulai ricuh. Setiap ada yang mau masuk pasti diteriaki, “Passwordnya apaaa?!”

Ternyata oh ternyata, Dome Thai bukan menjadi lokasi diskusi rencana masak malam itu. Yang kutemukan malah sekumpulan orang berwajah dewasa berkelakuan anak-anak, yang kebetulan merupakan peserta operasional Palapsi, sedang memainkan permainan alay. Mereka menyinari jarum jam tangan yang ber-fluorescent dengan senter selama beberapa detik. Senter dimatikan dan dengan serentak jam-jam tangan itu dijorokkan ke depan sambil semua berteriak, “SPLASH!!”

Secara ajaib, jarum-jarum jam menyala dalam gelap. Tidak ajaib juga sih. Alay, hahaha. Melihat mereka dengan ke-alay-annya, mengingatkanku akan teman-teman cowokku saat masih SMP. ABG yang masih heboh-hebohnya. Meski tidak ada satupun peserta operasional ini yang berumur SMP, tapi kehebohan mereka mampu menandingi para ABG itu. Dan, justru di situlah letak keseruannya. Tidak ada yang jaim berusaha terlihat cool dan mature. Semua ikut tertawa, semua ikut norak, semua ikut menjadi kampungan.

Setelah beberapa saat (yang cukup lama), akhirnya mereka memutuskan kembali menjadi dewasa dan mengembalikan fungsi kumpul-kumpul itu ke posisi awalnya; pembagian tugas masak. Tempat masak dan siapa yang memasak ditentukan. Aku mendapat giliran masak besok pagi. Malam ini masak dilakukan di teras dome Consina. Sembari menunggu makanan matang, aku tidur di dome-nya Mbak Mayang. Awalnya aku ikut bergabung di dome Consina, tapi rasanya jadi terlalu penuh sesak. Karena aku tidak begitu diperlukan juga dalam kegiatan masak malam ini, aku kembali ke dome Thai. Sayangnya, di sana kudapati sudah ada enam sleeping bag berjejer berisikan tubuh manusia. Ah, mana salah satunya adalah sleeping bag-ku lagi. Huhuhu. Itulah mengapa akhirnya aku mengungsi ke dome sebelah.

Sekitar satu jam kemudian aku dibangunkan untuk makan. Usai makan, Mbak Mayang memimpin briefing teknis. “Besok semua bangun jam tiga ya. Jam setengah empat kita muncak.” Briefing teknis malam itu menutup kegiatan hari kedua operasional. Aku masuk ke dome Thai dan meringkuk di dalam sleeping bag-ku yang hangat dan yang untungnya sudah tidak lagi semena-mena dipakai orang lain.

 ***

Minggu pagi. Aku bangun karena kedinginan. Baju sudah lapis tiga, sudah pakai kaos kaki, tidur di dalam sleeping bag juga, kenapa masih kedinginan sih? Setelah mampu mengumpulkan kesadaran, aku jadi tahu apa penyebab aku merasa dingin. Pintu dome sudah terbuka. Angin pagi yang terlampau sejuk itu memakan kehangatan di dalam dome. Di luar ada cahaya senter yang menyorot dan suara Mas Brimob yang terdengar keras, “Bangun, bangun! Udah setengah empat!”  Astaga. Telat setengah jam. Sambil masih menggigil, aku keluar dari dome, ikut berkumpul dengan yang lain. Ternyata Mbak Mayang pun terlambat bangun. Mas Brimob-lah yang bangun pertama kali. Itu pun sudah setengah empat.

Pagi itu dari camp area dapat terlihat jalur muncak penuh dengan cahaya senter dan headlamp. Padat sekali. Seperti ada kunang-kunang berbaris menuju langit gelap. Kepadatan seperti itu sangat bisa memperlambat waktu untuk sampai di puncak. Oleh karena itu, sebelum berangkat, Mbak Mayang membakar semangat kami, “Kita terlambat bangun. Sebetulnya, aku pesimis kita bisa lihat sunrise di puncak. Kalian, terutama yang baru pertama naik, kalau mau berhasil sampai tepat waktu untuk melihat sunrise harus berani menekan ego. Harus tidak gampang menyerah. Kalian bisa lihat sunrise atau nggak, semua tergantung tekad kalian masing-masing.”

*** 

Perjalanan menuju puncak, menurutku tidak separah perjalanan sebelumnya. Hanya saja, setiap kali aku berhenti untuk mengistirahatkan kaki, pemandangan di bawah sana semakin lama semakin tampak. Langit, yang awalnya hitam kelam, mulai berwarna. Aku berkejaran dengan waktu dan bertarung dengan diri sendiri. Sebenarnya, bisa saja aku beristirahat dan menikmati sunrise dari tempatku mendaki saat itu. Tapi aku tidak mau. Aku ingin berada di puncak saat sunrise. Seperti kata Mbak Mayang, aku harus menahan ego. Karena itu, akhirnya aku jadi agak ngebut. Dan jalur muncak ini jadi lumayan melelahkan. Walaupun, memang, setiap ingat ada sunrise indah yang menunggu di atas sana, kelelahan tadi tidak begitu terasa.

Saat hampir menyerah dan tergoda duduk di pinggir jalur pendakian, beberapa teman yang sudah sampai puncak terlebih dahulu berteriak-teriak menyemangati.
Puncak Pertama bersama Palapsi

 “Ayo, Nike!! Semangat!”

“Palapsiiii! Ayooo, sebentar lagi sampai!”

Wah, ternyata puncak sudah tinggal beberapa langkah. Suara para penyemangat itu semakin dekat terdengar. Langkah-langkah terakhir menuju puncak kuperlebar.

Hap. Hap. Hap.

Dan aku sampai juga.

Puncak pertamaku! Semua kelelahan terbayar lunas. Aku tepat waktu. Matahari perlahan-lahan menampakkan dirinya. Bersamaan dengan itu, hamparan rerumputan jauh di bawah sana mulai menguning tertimpa cahaya matahari. Di kaki gunung, beberapa rumah penduduk yang dari atas sini terlihat seperti rumah-rumahan dalam permainan monopoli, mulai mematikan lampunya untuk menyambut matahari pagi. Awan berarak rendah. Horizon memerah, lalu menguning, hingga menjadi putih cerah. Betul yang dibilang Mas Endro waktu sunrise di depan base camp, yang ini jauh lebih indah. Aku kagum. Angin sejuk mengacak rambutku dan mengingatkan bahwa semua ini adalah anugerah.

Aku mengucapkan syukur. Untuk detik demi detik yang aku lewati sampai saat ini. Untuk kegagalan. Untuk keberhasilan. Untuk kesempatan. Untuk hidup.

Aku memandang sekeliling dan mellihat teman-temanku. Ada yang saling foto. Ada yang bercengkrama. Ada yang tertawa. Ada yang hanya memandangi langit. Satu hal yang sama, semua berwajah bahagia. Puncak pertama atau puncak kelima atau puncak ke berapapun, tetap momen baru bagi setiap orang. Tiada tergantikan dan tiada terulang.

Perasaan penuh kebanggaan, kekeluargaan, dan kebahagiaan, paling aku rasakan saat kami semua berdiri dalam satu lingkaran besar, mengulurkan tangan ke titik tengah lingkaran, lalu bersama-sama meneriakkan tiga kata mantra Palapsi kepada dunia dari puncak Gunung Merbabu.


Never Give Up!




Comments

Popular posts from this blog

Is There a Way to Make Everyone Loves You?

I guess there is no way we can please everyone, let alone ask everyone to love us. You can still try to make people like you, though. You can be: a good listener a helpful friend a supportive family member a loving partner, but there is no guarantee that you will be loved by the deeds you have done. People are unconsciously conditioned to like or dislike certain things or other people. They have their own perception of what's good or bad, which could be quite different from your perception of good and bad. So... In the end, just be unapologetically you . Stay true to who you are. Know that whenever someone judges you, they actually judge their perception of you. Which most possibly is not the real you. Know that any concept that molds our worldly status is just, well... worldly. Ephemeral. Impermanent. Keep spreading love and kindness. And never let anyone or anything stops you from doing good. Because you can't be perfect for everyone, but you can always try to do your best ev

Current Favorite Things

Here are some things I've been obsessed to this past month: 1. Van & Camp Life on Pinterest source: Pinterest Source: Pinterest 2. Videos of Tiny Apartments on Youtube    I'm officially obsessed with beautiful minimalist home design!  3. Classical Music My favorite is Satie's Gymnopedie no.1 . I listen to it almost every night before sleep. The song brings a feeling of yearning, like being pulled back and forth through time. Like longing for something happening in the past to be happened once more. Put me in between the feeling of wistfulness and gratitude.  This youtube video is one of the best plays of Gymnopedie no.1. It's actually just a usual Gymnopedie no.1 with some rain sound in the background. But what make it good is the nostalgic stories people wrote on the comment section . Reading those stories while listening to the music is super calming. 4. Weekly English Chit Chat Club It's been almost a month since the beginning of this club. At first, Mbak Zia

Throwback

Setelah dua kali ops ke daerah Gunungkidul dan melewati kota Wonosari, aku teringat sesuatu. Awal kelas 12 dulu, aku pernah hidup selama satu minggu bersama orang-orang desa di Wonosari.  Kegiatan itu disebut live in. Aku sebenarnya sudah pernah menulis soal live in di blog ini, tapi tidak lengkap. Ada tulisan lengkapku tentang live in, yang kubuat karena diwajibkan sekolah (hehe), tapi hanya dipublish di blog kelasku. Nah, demi mempermudah dokumentasi, aku mau copy paste tulisan lengkap live in-ku ke sini. hehehe.  *** Memilih Bahagia oleh Eunike Adiprasasti / XIIA2/ 11 Hari pertama sampai di Wonosari saya merasa takut sekaligus excited. Siapa yang akan jadi keluarga saya? Bagaimana rumah saya nanti? Apa saja yang harus saya kerjakan? Dan, pertanyaan  yang paling sering muncul adalah apakah saya akan menikmati hidup di sana? Saya bukan orang yang melihat situasi hanya dari nikmat atau tidak nikmatnya saja. Saya punya rasa gengsi yang tinggi untuk mengakui bahwa saya