Skip to main content

Throwback

Setelah dua kali ops ke daerah Gunungkidul dan melewati kota Wonosari, aku teringat sesuatu. Awal kelas 12 dulu, aku pernah hidup selama satu minggu bersama orang-orang desa di Wonosari.  Kegiatan itu disebut live in. Aku sebenarnya sudah pernah menulis soal live in di blog ini, tapi tidak lengkap. Ada tulisan lengkapku tentang live in, yang kubuat karena diwajibkan sekolah (hehe), tapi hanya dipublish di blog kelasku. Nah, demi mempermudah dokumentasi, aku mau copy paste tulisan lengkap live in-ku ke sini. hehehe. 

***

Memilih Bahagia

oleh Eunike Adiprasasti / XIIA2/ 11

Hari pertama sampai di Wonosari saya merasa takut sekaligus excited. Siapa yang akan jadi keluarga saya? Bagaimana rumah saya nanti? Apa saja yang harus saya kerjakan? Dan, pertanyaan  yang paling sering muncul adalah apakah saya akan menikmati hidup di sana? Saya bukan orang yang melihat situasi hanya dari nikmat atau tidak nikmatnya saja. Saya punya rasa gengsi yang tinggi untuk mengakui bahwa saya tidak nyaman dalam sebuah situasi. Saya ingin orang melihat saya sebagai perempuan yang tangguh, tidak manja, dan berani menghadapi situasi apapun. Dan saya selalu meyakinkan diri bahwa saya adalah orang yang seperti itu. Tapi, entah mengapa harapan akan mendapat rumah yang enak, yang tidak jauh beda dari rumah-rumah di kota, membayangi saya. Apalagi setelah mendengar cerita beberapa kakak kelas perempuan yang mendapat rumah sangat nyaman dan luas, bahkan lebih luas dari rumah mereka sendiri.

Dari Wonosari, saya dan teman-teman diberangkatkan ke desa masing-masing dengan truk. Truk besar. Biasa dipakai untuk memindahkan sapi atau kambing ke tempat yang terlalu jauh dijangkau dengan berjalan kaki. Perjalanannya panjang sekali. Dari rasa kaget sekaligus gembira merasakan pengalaman naik truk hingga tidak sabar ingin mengakhiri perjalanan. Dari cengkraman yang erat ke pagar truk hingga tidak peduli saat mau jatuh. Dari teriakan-teriakan akibat sensasi goyangan truk hingga sepi mendengar siulan angin. Dan truk masih terus berjalan. Bahkan setelah melewati Desa Petir, desa teman-teman yang lelaki.

“Loh, katanya tahun lalu desa yang laki-laki lebih parah keadaannya dari yang perempuan? Kok mereka sampai duluan ya?” celetuk salah satu teman.

“Sampai duluan belum tentu lebih enak, to?” jawab saya.

Teman saya mengangguk-angguk setuju. Saat itu saya mengambil peran sebagai perempuan berani. Padahal dalam hati ketakutan mulai muncul. Bagaimana jika wc-nya nanti ‘wc tembak’? Bagaimana jika nanti saya tidak BAB selama seminggu? Bagaimana jika nanti saya, yang mudah alergi, gatal-gatal karena tidur di tempat yang kurang higienis? Lalu saya ambil keputusan, saya mensugesti diri. Semua ketakutan saya hilangkan dan diganti dengan perasaan ingin tahu dan membiarkan diri saya merasakan apapun yang harus saya rasakan nanti.

Akhirnya, kami sampai juga di kapel Desa Jati. Tas-tas diturunkan. Anak-anak masuk ke kapel. Semua muka tampak seperti orang yang habis dihukum, dijemur di lapangan. Seperti mau pingsan. Mulut agak terbuka, mata lelah, keringat berkucuran, tangan mengelap dahi, bekal air minum ditenggak habis. Beberapa menit kemudian, orang tua asuh datang ke kapel. Ada bapak-bapak yang tua, ada ibu berkebaya sederhana, ada anak-anak kecil yang menggelendoti orangtuanya. 

Setelah itu, pembagian tempat. Saat itu saya baru tahu bahwa karena kekurangan tempat, saya, yang awalnya hanya berpasangan dengan Caca, ternyata harus satu rumah dengan pasangan lain, Cicil dan Azary. Lalu, disebutkanlah nama orangtua yang akan saya tinggali rumahnya selama 4 malam ke depan. Dan, bertemulah saya dengan Bu Ruki dan anaknya, Ratri.

Bu Ruki adalah seorang ibu yang perhatian. Bu Ruki memperhatikan saya dan teman-teman terutama melalui makanan. Makanan yang sederhana tapi enaknya minta ampun. Setiap hari kami dimasakkan telur. Seringkali mie. Juga sayur buncis. Dan yang tidak pernah lupa dimasak adalah tahu dan tempe. Saya yakin, lauk selain tahu tempe bagi mereka adalah mewah dan mungkin cukup mahal. Tapi, itu tidak menghalangi Bu Ruki dari memasak semua makanan itu. Rasanya seperti dimanjakan.

Anak perempuan Bu Ruki namanya Ratri. Dia masih duduk di kelas 6 SD. Ratri tidak punya tempat khusus untuk belajar. Setiap hari dia mengerjakan PR di depan Tv sebelum tidur. Tempatnya tidak terlalu luas, tapi dia rajin menyelesaikan tugasnya. Bahkan dia berhasil ranking 4. Saya di rumah punya meja belajar sendiri, di dalam kamar lagi. Tapi saya sering menunda belajar karena alasan suasana kurang kondusif. Entah karena terlalu mengantuk atau karena di ruang Tv keluarga saya sedang berkumpul dan suaranya terdengar hingga kamar sehingga membuat saya tergoda ikutan duduk di depan Tv. PR pun saya tunda. Saya belajar dari Ratri untuk tidak bergantung dan menyalahkan situasi yang (menurut saya) kurang kondusif.

Suami Bu Ruki, Pak Pomo, datang beberapa jam setelah kami sampai di rumah. Pak Pomo baru saja pulang dari sebuah acara kerabatnya di Jakarta. Pak Pomo bukan orang yang banyak bicara. Bahkan ia cenderung pendiam dan jarang bercanda. Satu malam ada sarasehan kitab suci dan pada suatu momen ada salah satu orang yang melontarkan candaan. Hampir semua orang di ruangan tertawa. Tapi Pak pomo tidak ikut tertawa, hanya matanya yang tersenyum. Ia tampak seperti orang yang sudah makan asam garam kehidupan sehingga baginya candaan biasa tidak akan sampai membuat ia mengubah ekspresi wajahnya. Meski demikian, Pak Pomo bukan orang yang galak apalagi sombong. Dia orang yang tegas dan punya pemikiran yang mendalam tentang kehidupan ini. Meski jarang berkata-kata, namun saat dia bicara, maknanya sungguh dalam.

Suatu siang kami semua bekerja di ladang. Kami duduk membentuk setengah lingkaran di tanah dan membantu mengupas kulit singkong. Namanya juga pemula, kami mengupas dengan sangat jelek meski sudah bersusah payah. Sedangkan Bu Ruki mengupas singkong yang panjangnya hampir 1 meter dengan sekali kupas di setiap sisinya. Kami berempat berhenti sejenak dari pekerjaan untuk memandangi cara Bu Ruki bekerja. Pak Pomo ikut berhenti dari pekerjaannya mencabut singkong dari tanah dan berdiri di sebelah Bu Ruki. “Kalian kagum ya lihat cara ibu kerja? Ya, kalau bekerja memang harus begitu, harus punya profesionalitas,” kata Pak Pomo tiba-tiba. Saya mencerna kalimat itu. Pak Pomo dan Bu Ruki 'hanya' petani, tapi meyakini bahwa profesionalitas itu harus dilakukan.

Selain Pak Pomo, Bu Ruki, dan Ratri, di rumah tinggal si mbok, ibu dari Bu Ruki. Si mbok sudah hampir berumur 70 tahun tapi masih kuat menggendong satu karung kulit singkong setiap sore dari ladang ke rumah yang jaraknya sekitar 700 m dan konturnya macam roller coaster, naik turun dan berbatu-batu. Si mbok tidak pernah mengeluh dan begitu pula anggota keluarga lainnya. Bahkan di tengah kesulitan sekalipun.

Banyak hal di Desa Jati yang jarang atau bahkan tidak pernah saya alami sebelumnya. Setiap malam saat harus ke toilet yang ada di luar rumah, saya menyempatkan diri berhenti sejenak dan memandangi bintang-bintang malam hari. Terang, jernih, dan jelas. Dengan penuh semangat saya selalu bilang ke orang-orang, “Bintang tiap malam keren banget yaa. Kayak yang ada di langit-langit planetarium, tapi kalau yang ini bintang beneran.” Sayang, teman-teman satu rumah dan hampir semua teman satu desa tidak tahu apa itu dan di mana planetarium (capek deh -_-).

Pada hari keempat saya di Desa jati terjadi suatu peristiwa. Saya baru pulang dari ladang bersama Caca di sore hari dan sedang mandi. Tiba-tiba terdengar suara Caca berteriak dari luar. Saya mengintip ke luar kamar mandi dan melihat Caca dengan muka ketakutan berlari sambil terus berteriak, “TOLONG! KEBAKARAN! TOLOOOONG…!” Waduh. Buru-buru saya berpakaian. Semua pikiran jelek dan kekhawatiran masuk di otak saya. Si Mbok, Ratri, rumah ini, keluarga ini. Saya ingin semua selamat. Saya menyebut nama Tuhan berulang kali. Puji Tuhan, api akhirnya padam, tidak melahap rumah, hanya sempat menyala besar.

Saya menengok ke dapur dan melihat ibu-ibu yang berbicara dalam bahasa Jawa dengan nada tinggi. Semua bicara. Saya dan beberapa teman hanya sanggup melongo melihat pemandangan itu. Lucu sekali mendengar mereka bercerita dengan perasaan campur aduk dan saling menyahut satu sama lain. Entah siapa yang mendengarkan atau siapa yang bercerita, semua orang sepertinya membuka mulut, berlomba meluapkan pikiran dan perasaan. 

Peristiwa itu cukup membuat saya lemas dan deg-degan. Tapi, dari sisi lain saya melihat kepedulian masyarakat desa. Bahkan, ada ibu yang sedang membawa reerumputan banyak untuk pakan sapi di punggungnya dilepas begitu saja di jalan demi membantu keluarga kami. Hidup bersama masyarakat desa menyadarkan saya akan arti kekeluargaan. Bukan masalah keluarga kandung atau bukan, tapi bagaimana setiap orang berempati dan mau peduli dengan orang lain.

Hari-hari live in sudah berakhir. Ini pagi terakhir saya di sini. Kurang dari 4 jam lagi saya akan berada di truk yang membawa saya kembali ke Paroki di Wonosari. Udara pagi itu sejuk, sama seperti udara pagi hari-hari sebelumnya. Keluar dari kamar, saya menghirup aroma asap tungku dari dapur. Ibu, Ratri, dan si mbok sedang duduk-duduk di dapur. Dalam hati saya berkata, “Saya pasti bakal kangen suasana pagi seperti ini.” Namun, beberapa detik kemudian saya mengoreksi pemikiran itu. Tidak, saya tidak hanya akan kangen suasana pagi ini, tapi juga semua hal yang saya alami di sini, semua tempat yang saya datangi, semua manusia-manusia desa yang saya jumpai, dan terutama keluarga saya selama 5 hari saya melakukan live in ini.

Sewaktu kami berkumpul di kapel sebelum berangkat ke Wonosari, kami semua menangis. Ibu Ruki menangis. Bahkan Pak Pomo, yang jarang berekspresi pun menangis, meski hanya sebentar. Kata orang, tangisan itu tidak penting tanpa perbuatan lebih lanjut. Saya setuju, tapi pada momen tersebut, itulah bukti bagi saya bahwa mereka dan saya punya ikatan batin yang membuat kami menyayangkan perpisahan hari itu.

Saat saya melakukan flashback, saya melihat semua ketakutan saya tidak terbukti. Saya mendapatkan kamar mandi yang layak, keluarga yang saya tinggali sangat baik, saya tidak pernah gatal-gatal bahkan setelah ada belalang di atas tempat tidur saya sekalipun, dan saya mendapatkan kesempatan menikmati hidup selama live in ini.


Menyadari hal itu, saya bersyukur. Mengikuti live in membuat saya membuka lebih lebar mata hati saya untuk hal-hal baru di luar kehidupan nyaman saya selama ini. Saya berefleksi. Saya belajar melihat hidup tidak dari sisi duniawi saja. Saya mau berusaha lebih lagi menghargai kehidupan dan semua anugerah di dalamnya. 

Dan saya menyadari satu hal, kebahagiaan ada karena kita memilih untuk merasa bahagia.

***

Ah, jadi kangen Desa Jati dan manusia-manusianya :")

Comments

Popular posts from this blog

Brief Answers to the Big Questions - Stephen Hawking

  (curhat sambil semi review buku) I used to think of Stephen Hawking as someone sarcastic and bitter as Richard Dawkins. (Kalau ada yang pernah baca bukunya Dawkins, misalnya yang the God Delusion, pasti mengenali kekhasan cara pandangnya terhadap kreationisme dan hal gaib lai nnya. Kaku bener beb kayak kanebo kering.😅) Secara mendasar, sama seperti Dawkins, Hawking pun menolak kreationisme. Tapi, Hawking expressed  his belief about creationism and other big questions humans have ever had in a kind and humorous way. He did not diminish the magical feeling toward the awe-inspiring universe. But at the same time was also trying to rationally explain how this remarkable world works. Jadi kayak bisa bikin pembaca over-optimistic dan bodoh seperti saya merasa it’s okay to questioning everything sambil tetap hopeful about life… He certainly was a lovely and witty man. Dalam bukunya, Brief Answers to the Big Questions, Hawking menjelaskan konsep-konsep theoretical physics men